Menghadapi Masalah-masalah Pengelolaan Kelas
Dalam menghadapi masalah-masalah pengelolaan kelas guru dapat menerapkan berbagai pendekatan. Pendekatan pertama ialah dengan menerapkan sejumlah “larangan dan anjuran” misalnya:
1. Jangan menegur siswa di hadapan kawan-kawannya.
2. Dalam memberikan peringatan kepada siswa janganlah mempergunakan nada suara yang tinggi.
3. Bersikaplah tegas dan adil terhadap semua siswa
4. Jangan pilih kasih
5. Sebelum menghukum siswa, buktikanlah terlebih dahulu bahwa siswa itu bersalah
6. Patuhlah pada aturan-aturan yang sudah anda tetapkan.
Pendekatan “larangan dan anjuran” diatas tampaknya mudah, namun karena tidak didasarkan pada teori atau prinsip-prinsip tertentu pada umumnya kurang dapat dilaksanakan secara mantap. Masing-masing perintah atau larangan itu dapat diterapkan atas dasar generalisasi masalah-masalah pengelolaan kelas tertentu. Disamping itu, guru yang melaksanakan perintah dan larangan itu hanya bersikap reaktif terhadap masalah-masalah pengelolaan kelas yang timbul. Jangkauan tindakan yang reaktif inipun amat sempit, yaitu hanya terbatas pada masalah-masalah yang muncul sesewaktu saja. Padahal dari guru diharapkan tindakan-tindakan yang menjangkau kemungkinan timbulnya masalah-masalah yang dapat muncul di masa depan, sehingga timbulnya masalah-masalah itu dapat dicegah, atau kalau toh masalah-masalah itu timbul juga intensitasnya tidak begitu besar dan dapat ditanggulangi secara tepat.
Kesulitan lain yang dapat ditimbulkan dengan diterapkannya pendekatan “perintah dan larangan” yang mirip-mirip resep itu ialah, jika “resep” itu ternyata gagal, maka guru dapat kehilangan akal dalam menangani masalah yang dihadapinya. Guru tidak mampu menganalisis masalah itu dan tidak mampu menemukan alternatif-alternatif tindakan yang mungkin justru lebih ampuh daripada perintah dan larangan sebagaimana tercantum didalam “resep” itu.
Pendekatan “perintah dan larangan” itu bersifat absolut dan tidak membuka peluang bagi diambilnya tindakan-tindakan yang lebih luwes dan kreatif. Pendekatan “resep” ini hanya mengatakan: “Jika terjadi masalah itu, lakukanlah itu atau itu atau itu”. Guru-guru yang hanya mengandalkan penerapan pendekatan seperti itu dianggap kurang memanfaatkan potensinya sendiri dan kurang mampu menyelenggarakan pengelolaan kelas secara efektif.
Ada pendekatan lain yang boleh jadi dipakai oleh guru-guru dalam menangani masalah-masalah pengelolaan kelas. Pendekatan ini sebenarnyalah tidak tepat diterapkan di kelas-kelas kita. Meskipun pendekatan yang sedang kita bicarakan ini hendaknya tidak dilaksanakan oleh guru-guru, namun toh perlu kita bicarakan juga agar kita semua mengenalnya sehingga tidak terjerumus ke dalamnya. Pendekatan yang tidak tepat itu meliputi tiga hal, yaitu:
1. penghukuman atau pengancaman,
2. pengalihan dan pemasabodohan, dan
3. penguasaan atau penekanan.
Apabila hal-hal itu dilaksanakan didalam kelas mungkin akan menghasilkan pengaruh tertentu, namun hasil-hasil yang ditimbulkan itu kiranya tidak sebagaimana yang kita harapkan. Tindakan penghukuman atau pengancaman hanya sekedar mengubah tingkahlaku sesaat saja dan hanya menyinggung aspek-aspek yang bersifat permukaan belaka. Sayangnya lagi, tindakan itu biasanya diikuti oleh tingkah laku negatif lainnya pada diri siswa, termasuk didalamnya tindakan kekerasan. Tindakan pengalihan atau pemasabodohan seringkali menimbulkan semangat yang rendah, ketidaktenangan, kecenderungan mencari kambing hitam, agresi dan tindakan kekerasan lainnya. Tindakan penguasaan atau penekanan akan menghasilkan sikap pura-pura patuh, diam-diam dan bahkan mungkin tindakan kekerasan.
Pada umumnya tindakan-tindakan berdasarkan pendekatan diatas tidaklah efektif. Apabila tindakan-tindakan itu dilaksanakan hasilnya adalah pemecahan masalah sementara yang barangkali justru diikuti oleh timbulnya masalah-masalah yang lebih parah. Dapat dikatakan bahwa, pendekatan seperti itu baru menjangkau gejala-gejala yang menyertai masalah yang timbul dan belum menjangkau inti permasalahan yang sebenarnya.
Berikut ini dikemukakan perincian beberapa tindakan yang tidak tepat untuk menangani masalah-masalah yang timbul didalam kelas:
1. Tindakan penghukuman atau pengancaman:
1. Menghukum dengan kekerasan, larangan atau pengusiran
2. Menerapkan ancaman atau memaksakan berlakunya larangan-larangan
3. Menghardik, mengasari dengan kata, mencemooh atau menertawakan
4. Menghukum seorang diantara siswa sebagai contoh bagi siswa-siswa lainnya
5. Memaksa siswa untuk meminta maaf atau memaksakan tuntutan-tuntutan lainnya.
2. Tindakan pengalihan atau pemasabodohan:
1. Meremehkan sesuatu kejadian atau tidak melakukan apa-apa sama sekali.
2. Menukar susunan kelompok dengan mengganti atau mengeluarkan anggota tertentu.
3. Mengalihkan tanggungjawab kelompok kepada tanggungjawab seseorang anggota.
4. Menukar kegiatan (yang seharusnya dilakukan oleh siswa) untuk menghindari tingkah laku tertentu dari siswa.
5. Mengalihkan tingkah laku siswa dengan cara-cara lain.
3. Tindakan penguasaan atau penekanan:
1. Memerintah, memarahi, mengomel
2. Memakai pengaruh orang-orang yang berkuasa (misalnya orang tua, pimpinan sekolah)
3. Menyatakan ketidaksetujuan dengan mempergunakan kata-kata, tindakan atau pandangan.
4. Melakukan tindakan kekerasan sebagai pelaksanaan dari ancaman-ancaman yang pernah dijanjikan.
5. Mempergunakan hadiah sebagai perbandingan terhadap hukuman bagi para pelanggar.
6. Mendelegasikan wewenang kepada siswa untuk memaksakan penguasaan kelas.
Tidak seperti dua pendekatan diatas, pendekatan pengubahan tingkah laku didasarkan pada teori yang mantap. Secara singkat, teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa semua tingkah laku, baik tingkah laku yang disukai ataupun yang tidak disukai, adalah hasil belajar. Mereka yang percaya pada teori ini berpendapat bahwa: (1) penguatan (reinforcement) positif, penguatan negatif, hukuman dan penghilangan (extinction) berlaku bagi proses belajar pada semua tingkatan umur dan dalam semua keadaan, dan (2) proses belajar sebagian atau bahkan seluruhnya dipengaruhi (dikontrol) oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan.
Teori pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa penguasaan tingkah laku tertentu sejalan dengan usaha belajar yang hasil-hasilnya akan memperoleh ganjaran; bahwa penampilan tingkah laku yang dimaksudkan itu akan menghasilkan penguatan tertentu. Penguatan dipandang sebagai kejadian yang meningkatkan kemungkinan diulanginya penampilan perbuatan (tingkah laku) tertentu; dengan demikian perbuatan atau tingkah laku diperkuat. Tingkah laku yang diperkuat itu boleh berupa tingkah laku yang disukai ataupun yang tidak disukai. Dengan kata lain, jika tingkah laku tertentu diberi ganjaran, maka tingkah laku itu cenderung diteruskan.
Penguatan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Pada umumnya penguatan itu berupa ganjaran yang diberikan kepada siswa yang menampilkan tingkah laku yang baik dengan harapan agar tingkah laku itu diteruskan. Pemberian ganjaran terhadap tingkah laku yang telah dikuasai oleh siswa itu disebut penguatan positif. Sebaliknya, penguatan negatif ialah penguatan yang dilakukan dengan jalan dikuranginya (atau ditiadakannya) hal-hal (perangsang) yang tidak menyenangkan (yang dikenakan terhadap siswa).
Penghukuman merupakan penggunaan perangsang yang tidak menyenangkan untuk meniadakan tingkah laku yang tidak disukai. Hukuman dianggap bermanfaat untuk segera menghentikan ditampilkannya tingkah laku yang tidak disukai sambil memberikan kepada guru waktu untuk melaksanakan sistem penguatan yang tepat bagi tingkah laku yang disukai. Banyak orang meragukan keefektifan hukuman itu dan memang penggunaan hukuman itu mengatasi masalah pengelolaan kelas masih diperdebat. Dalam kaitan dengan pemberian penguatan dan hukuman, pada penganut pendekatan pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa:
1.mengabaikan tingkah laku yang tidak disukai dan memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai merupakan tindakan yang amat efektif untuk membina tingkah laku siswa didalam siswanya; dan
2 memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai tampaknya merupakan kunci bagi pengelolaan kelas yang efektif. Pendekatan iklim sosio-emosional dibangun atas dasar pandangan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Hubungan guru-siswa terutama sekali dipengaruhi oleh: (1) keterbukaan atau sikap tidak berpura-pura dari guru, (2) penerimaan dan kepercayaan guru terhadap siswa-siswanya, dan (3) empati guru terhadap siswa-siswanya. Guru yang ingin menerapkan pendekatan interpersonal juga perlu menyadari kenyataan bahwa cinta dan merasa diri berharga merupakan dua kebutuhan dasar yang hendaknya dimiliki (dirasakan) oleh siswa jika siswa itu hendak mengembangkan perasaan diri sukses. Siswa perlu memperoleh pengalaman sukses; oleh karena itu, guru hendaklah membuka kemungkinan sebesar-besarnya bagi para siswa untuk mencapai sukses. Lebih jauh, perlu diperhatikan juga bahwa bertindak atas dasar penghayatannya (persepsinya) tentang diri sendiri. Disamping itu, siswa juga perlu memandang diri sebagai individu yang berharga. Oleh karena itu semua siswa perlu dilayani dengan penuh penghargaan.
Para penganut pendekatan iklim sosio-emosional menekankan pentingnya guru berupaya sekuat-kuatnya membantu siswa menghindari kegagalan. Mereka percaya bahwa kegagalan akan melemahkan atau bahkan membunuh motivasi, menumbuhkan penghayatan negatif terhadap diri sendiri, meningkatkan kecemasan dan merangsang tumbuhnya tingkah laku yang menyimpang. Kelas harus dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan tempt dimana siswa-siswa merasa aman dan tentram, serta merasa memiliki kesempatan melakukan kesalahan dan menemukan kegagalan tanpa ancaman hukuman yang berat. Pendekatan iklim sosio-emosional berakar dari pandangan yang mengutamakan hubungan guru-siswa yang penuh empati dan saling menerima. Pendekatan ini percaya bahwa iklim (suasana) kelas berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan guru memberikan pengaruh yang amat besar terhadap iklim tersebut. Dengan demikian, pendekatan ini menekankan pentingnya tingkah laku atau tindakan guru yang menyebabkan siswa memandang guru itu betul-betul terlibat dalam pembinaan siswa dan benar-benar memperhatikan suka-duka siswa. Apabila siswa bertingkah laku menyimpang, maka guru bertindak “memisahkan kesalahan dari orang yang berbuat salah”, tetap menerima siswa yang bersangkutan sambil sekaligus menolak perbuatannya yang menyimpang itu. Dalam semua hal, fungsi guru ialah mengembangkan hubungan yang baik dengan setiap siswa. Implikasi pendekatan ini ialah bahwa siswa dipandang sebagai “keseluruhan pribadi yang sedang berkembang”, bukan semata-mata sebagai seorang anak yang sedang mempelajari pelajaran tertentu.
Penggunaan pendekatan proses kelompok dalam pengelolaan kelas didasarkan atas prinsip-prinsip psikologi sosial dan dinamika kelompok. Anggapan dasar yang dipakai ialah bahwa (1) kegiatan siswa di sekolah berlangsung dalam suatu kelompok tertentu, dan (2) kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dimiliki oleh sistem sosial lainnya. Penggunaan pendekatan proses kelompok menekankan pentingnya ciri-ciri kelompok yang ada didalam kelompok kelas dan saling hubungan antar siswa yang menjadi anggota kelompok kelas itu. Dalam hal ini peranan guru yang paling utama ialah mengembangkan dan mempertahankan keeratan hubungan antar siswa, semangat produktivitas dan orientasi pada tujuan dari kelompok kelas ini. Demikianlah, tugas pertama guru ialah mengembangkan keeratan hubungan antar anggota kelompok kelas. Dalam hal ini ditekankan perlunya guru meningkatkan daya tarik dan ikatan kelompok bagi anggota-anggotanya dengan jalan menumbuhkan sikap saling menghargai dan mengembangkan komunikasi yang tepat antar anggota kelompok. Tugas kedua ialah membantu siswa mengembangkan aturan atau norma-norma kelompok yang produktif dan menyenangkan. Hal ini mencakup, misalnya pengembangan aturan bekerja yang dapat diterima oleh semua anggota. Sekali kelompok yang kompak dan produktif terbentuk, selanjutnya adalah tugas guru untuk mempertahankan kesatuan dan norma-norma kelompok itu.
Dalam menghadapi masalah-masalah pengelolaan kelas, pemakaian pendekatan proses kelompok didasarkan atas pertimbangan bahwa tingkah laku yang menyimpang pada dasarnya bukanlah peristiwa yang menimpa seorang individu yang kebetulan menjadi anggota kelompok kelas tertentu, namun adalah peristiwa sosial yang menyangkut kehidupan kelompok dimana individu itu menjadi anggotanya.
Tujuan utama bagi guru yang menangani tingkah laku yang menyimpang itu ialah membantu kelompok itu bertanggungjawab atas perbuatan anggota-anggotanya dan pengelolaan kegiatan kelompok itu sendiri. Kelompok yang berfungsi secara efektif dapat melakukan kontrol yang mantap terhadap anggota-anggotanya.
SUMBER BACAAN
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Buku II: Modul Pengelolaan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi.
1. Jangan menegur siswa di hadapan kawan-kawannya.
2. Dalam memberikan peringatan kepada siswa janganlah mempergunakan nada suara yang tinggi.
3. Bersikaplah tegas dan adil terhadap semua siswa
4. Jangan pilih kasih
5. Sebelum menghukum siswa, buktikanlah terlebih dahulu bahwa siswa itu bersalah
6. Patuhlah pada aturan-aturan yang sudah anda tetapkan.
Pendekatan “larangan dan anjuran” diatas tampaknya mudah, namun karena tidak didasarkan pada teori atau prinsip-prinsip tertentu pada umumnya kurang dapat dilaksanakan secara mantap. Masing-masing perintah atau larangan itu dapat diterapkan atas dasar generalisasi masalah-masalah pengelolaan kelas tertentu. Disamping itu, guru yang melaksanakan perintah dan larangan itu hanya bersikap reaktif terhadap masalah-masalah pengelolaan kelas yang timbul. Jangkauan tindakan yang reaktif inipun amat sempit, yaitu hanya terbatas pada masalah-masalah yang muncul sesewaktu saja. Padahal dari guru diharapkan tindakan-tindakan yang menjangkau kemungkinan timbulnya masalah-masalah yang dapat muncul di masa depan, sehingga timbulnya masalah-masalah itu dapat dicegah, atau kalau toh masalah-masalah itu timbul juga intensitasnya tidak begitu besar dan dapat ditanggulangi secara tepat.
Kesulitan lain yang dapat ditimbulkan dengan diterapkannya pendekatan “perintah dan larangan” yang mirip-mirip resep itu ialah, jika “resep” itu ternyata gagal, maka guru dapat kehilangan akal dalam menangani masalah yang dihadapinya. Guru tidak mampu menganalisis masalah itu dan tidak mampu menemukan alternatif-alternatif tindakan yang mungkin justru lebih ampuh daripada perintah dan larangan sebagaimana tercantum didalam “resep” itu.
Pendekatan “perintah dan larangan” itu bersifat absolut dan tidak membuka peluang bagi diambilnya tindakan-tindakan yang lebih luwes dan kreatif. Pendekatan “resep” ini hanya mengatakan: “Jika terjadi masalah itu, lakukanlah itu atau itu atau itu”. Guru-guru yang hanya mengandalkan penerapan pendekatan seperti itu dianggap kurang memanfaatkan potensinya sendiri dan kurang mampu menyelenggarakan pengelolaan kelas secara efektif.
Ada pendekatan lain yang boleh jadi dipakai oleh guru-guru dalam menangani masalah-masalah pengelolaan kelas. Pendekatan ini sebenarnyalah tidak tepat diterapkan di kelas-kelas kita. Meskipun pendekatan yang sedang kita bicarakan ini hendaknya tidak dilaksanakan oleh guru-guru, namun toh perlu kita bicarakan juga agar kita semua mengenalnya sehingga tidak terjerumus ke dalamnya. Pendekatan yang tidak tepat itu meliputi tiga hal, yaitu:
1. penghukuman atau pengancaman,
2. pengalihan dan pemasabodohan, dan
3. penguasaan atau penekanan.
Apabila hal-hal itu dilaksanakan didalam kelas mungkin akan menghasilkan pengaruh tertentu, namun hasil-hasil yang ditimbulkan itu kiranya tidak sebagaimana yang kita harapkan. Tindakan penghukuman atau pengancaman hanya sekedar mengubah tingkahlaku sesaat saja dan hanya menyinggung aspek-aspek yang bersifat permukaan belaka. Sayangnya lagi, tindakan itu biasanya diikuti oleh tingkah laku negatif lainnya pada diri siswa, termasuk didalamnya tindakan kekerasan. Tindakan pengalihan atau pemasabodohan seringkali menimbulkan semangat yang rendah, ketidaktenangan, kecenderungan mencari kambing hitam, agresi dan tindakan kekerasan lainnya. Tindakan penguasaan atau penekanan akan menghasilkan sikap pura-pura patuh, diam-diam dan bahkan mungkin tindakan kekerasan.
Pada umumnya tindakan-tindakan berdasarkan pendekatan diatas tidaklah efektif. Apabila tindakan-tindakan itu dilaksanakan hasilnya adalah pemecahan masalah sementara yang barangkali justru diikuti oleh timbulnya masalah-masalah yang lebih parah. Dapat dikatakan bahwa, pendekatan seperti itu baru menjangkau gejala-gejala yang menyertai masalah yang timbul dan belum menjangkau inti permasalahan yang sebenarnya.
Berikut ini dikemukakan perincian beberapa tindakan yang tidak tepat untuk menangani masalah-masalah yang timbul didalam kelas:
1. Tindakan penghukuman atau pengancaman:
1. Menghukum dengan kekerasan, larangan atau pengusiran
2. Menerapkan ancaman atau memaksakan berlakunya larangan-larangan
3. Menghardik, mengasari dengan kata, mencemooh atau menertawakan
4. Menghukum seorang diantara siswa sebagai contoh bagi siswa-siswa lainnya
5. Memaksa siswa untuk meminta maaf atau memaksakan tuntutan-tuntutan lainnya.
2. Tindakan pengalihan atau pemasabodohan:
1. Meremehkan sesuatu kejadian atau tidak melakukan apa-apa sama sekali.
2. Menukar susunan kelompok dengan mengganti atau mengeluarkan anggota tertentu.
3. Mengalihkan tanggungjawab kelompok kepada tanggungjawab seseorang anggota.
4. Menukar kegiatan (yang seharusnya dilakukan oleh siswa) untuk menghindari tingkah laku tertentu dari siswa.
5. Mengalihkan tingkah laku siswa dengan cara-cara lain.
3. Tindakan penguasaan atau penekanan:
1. Memerintah, memarahi, mengomel
2. Memakai pengaruh orang-orang yang berkuasa (misalnya orang tua, pimpinan sekolah)
3. Menyatakan ketidaksetujuan dengan mempergunakan kata-kata, tindakan atau pandangan.
4. Melakukan tindakan kekerasan sebagai pelaksanaan dari ancaman-ancaman yang pernah dijanjikan.
5. Mempergunakan hadiah sebagai perbandingan terhadap hukuman bagi para pelanggar.
6. Mendelegasikan wewenang kepada siswa untuk memaksakan penguasaan kelas.
Tidak seperti dua pendekatan diatas, pendekatan pengubahan tingkah laku didasarkan pada teori yang mantap. Secara singkat, teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa semua tingkah laku, baik tingkah laku yang disukai ataupun yang tidak disukai, adalah hasil belajar. Mereka yang percaya pada teori ini berpendapat bahwa: (1) penguatan (reinforcement) positif, penguatan negatif, hukuman dan penghilangan (extinction) berlaku bagi proses belajar pada semua tingkatan umur dan dalam semua keadaan, dan (2) proses belajar sebagian atau bahkan seluruhnya dipengaruhi (dikontrol) oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan.
Teori pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa penguasaan tingkah laku tertentu sejalan dengan usaha belajar yang hasil-hasilnya akan memperoleh ganjaran; bahwa penampilan tingkah laku yang dimaksudkan itu akan menghasilkan penguatan tertentu. Penguatan dipandang sebagai kejadian yang meningkatkan kemungkinan diulanginya penampilan perbuatan (tingkah laku) tertentu; dengan demikian perbuatan atau tingkah laku diperkuat. Tingkah laku yang diperkuat itu boleh berupa tingkah laku yang disukai ataupun yang tidak disukai. Dengan kata lain, jika tingkah laku tertentu diberi ganjaran, maka tingkah laku itu cenderung diteruskan.
Penguatan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Pada umumnya penguatan itu berupa ganjaran yang diberikan kepada siswa yang menampilkan tingkah laku yang baik dengan harapan agar tingkah laku itu diteruskan. Pemberian ganjaran terhadap tingkah laku yang telah dikuasai oleh siswa itu disebut penguatan positif. Sebaliknya, penguatan negatif ialah penguatan yang dilakukan dengan jalan dikuranginya (atau ditiadakannya) hal-hal (perangsang) yang tidak menyenangkan (yang dikenakan terhadap siswa).
Penghukuman merupakan penggunaan perangsang yang tidak menyenangkan untuk meniadakan tingkah laku yang tidak disukai. Hukuman dianggap bermanfaat untuk segera menghentikan ditampilkannya tingkah laku yang tidak disukai sambil memberikan kepada guru waktu untuk melaksanakan sistem penguatan yang tepat bagi tingkah laku yang disukai. Banyak orang meragukan keefektifan hukuman itu dan memang penggunaan hukuman itu mengatasi masalah pengelolaan kelas masih diperdebat. Dalam kaitan dengan pemberian penguatan dan hukuman, pada penganut pendekatan pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa:
1.mengabaikan tingkah laku yang tidak disukai dan memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai merupakan tindakan yang amat efektif untuk membina tingkah laku siswa didalam siswanya; dan
2 memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai tampaknya merupakan kunci bagi pengelolaan kelas yang efektif. Pendekatan iklim sosio-emosional dibangun atas dasar pandangan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Hubungan guru-siswa terutama sekali dipengaruhi oleh: (1) keterbukaan atau sikap tidak berpura-pura dari guru, (2) penerimaan dan kepercayaan guru terhadap siswa-siswanya, dan (3) empati guru terhadap siswa-siswanya. Guru yang ingin menerapkan pendekatan interpersonal juga perlu menyadari kenyataan bahwa cinta dan merasa diri berharga merupakan dua kebutuhan dasar yang hendaknya dimiliki (dirasakan) oleh siswa jika siswa itu hendak mengembangkan perasaan diri sukses. Siswa perlu memperoleh pengalaman sukses; oleh karena itu, guru hendaklah membuka kemungkinan sebesar-besarnya bagi para siswa untuk mencapai sukses. Lebih jauh, perlu diperhatikan juga bahwa bertindak atas dasar penghayatannya (persepsinya) tentang diri sendiri. Disamping itu, siswa juga perlu memandang diri sebagai individu yang berharga. Oleh karena itu semua siswa perlu dilayani dengan penuh penghargaan.
Para penganut pendekatan iklim sosio-emosional menekankan pentingnya guru berupaya sekuat-kuatnya membantu siswa menghindari kegagalan. Mereka percaya bahwa kegagalan akan melemahkan atau bahkan membunuh motivasi, menumbuhkan penghayatan negatif terhadap diri sendiri, meningkatkan kecemasan dan merangsang tumbuhnya tingkah laku yang menyimpang. Kelas harus dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan tempt dimana siswa-siswa merasa aman dan tentram, serta merasa memiliki kesempatan melakukan kesalahan dan menemukan kegagalan tanpa ancaman hukuman yang berat. Pendekatan iklim sosio-emosional berakar dari pandangan yang mengutamakan hubungan guru-siswa yang penuh empati dan saling menerima. Pendekatan ini percaya bahwa iklim (suasana) kelas berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan guru memberikan pengaruh yang amat besar terhadap iklim tersebut. Dengan demikian, pendekatan ini menekankan pentingnya tingkah laku atau tindakan guru yang menyebabkan siswa memandang guru itu betul-betul terlibat dalam pembinaan siswa dan benar-benar memperhatikan suka-duka siswa. Apabila siswa bertingkah laku menyimpang, maka guru bertindak “memisahkan kesalahan dari orang yang berbuat salah”, tetap menerima siswa yang bersangkutan sambil sekaligus menolak perbuatannya yang menyimpang itu. Dalam semua hal, fungsi guru ialah mengembangkan hubungan yang baik dengan setiap siswa. Implikasi pendekatan ini ialah bahwa siswa dipandang sebagai “keseluruhan pribadi yang sedang berkembang”, bukan semata-mata sebagai seorang anak yang sedang mempelajari pelajaran tertentu.
Penggunaan pendekatan proses kelompok dalam pengelolaan kelas didasarkan atas prinsip-prinsip psikologi sosial dan dinamika kelompok. Anggapan dasar yang dipakai ialah bahwa (1) kegiatan siswa di sekolah berlangsung dalam suatu kelompok tertentu, dan (2) kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dimiliki oleh sistem sosial lainnya. Penggunaan pendekatan proses kelompok menekankan pentingnya ciri-ciri kelompok yang ada didalam kelompok kelas dan saling hubungan antar siswa yang menjadi anggota kelompok kelas itu. Dalam hal ini peranan guru yang paling utama ialah mengembangkan dan mempertahankan keeratan hubungan antar siswa, semangat produktivitas dan orientasi pada tujuan dari kelompok kelas ini. Demikianlah, tugas pertama guru ialah mengembangkan keeratan hubungan antar anggota kelompok kelas. Dalam hal ini ditekankan perlunya guru meningkatkan daya tarik dan ikatan kelompok bagi anggota-anggotanya dengan jalan menumbuhkan sikap saling menghargai dan mengembangkan komunikasi yang tepat antar anggota kelompok. Tugas kedua ialah membantu siswa mengembangkan aturan atau norma-norma kelompok yang produktif dan menyenangkan. Hal ini mencakup, misalnya pengembangan aturan bekerja yang dapat diterima oleh semua anggota. Sekali kelompok yang kompak dan produktif terbentuk, selanjutnya adalah tugas guru untuk mempertahankan kesatuan dan norma-norma kelompok itu.
Dalam menghadapi masalah-masalah pengelolaan kelas, pemakaian pendekatan proses kelompok didasarkan atas pertimbangan bahwa tingkah laku yang menyimpang pada dasarnya bukanlah peristiwa yang menimpa seorang individu yang kebetulan menjadi anggota kelompok kelas tertentu, namun adalah peristiwa sosial yang menyangkut kehidupan kelompok dimana individu itu menjadi anggotanya.
Tujuan utama bagi guru yang menangani tingkah laku yang menyimpang itu ialah membantu kelompok itu bertanggungjawab atas perbuatan anggota-anggotanya dan pengelolaan kegiatan kelompok itu sendiri. Kelompok yang berfungsi secara efektif dapat melakukan kontrol yang mantap terhadap anggota-anggotanya.
SUMBER BACAAN
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Buku II: Modul Pengelolaan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar