Kebangkitan Kekerasan?
Ditulis oleh Prof. Suyanto, Ph.D
Kebangkitan Nasional telah usai diperingati dan dikenang dengan berbagai cara dan moda. Kita mengenangnya sebagai sebuah gerakan patriotik bangsa Indonesia. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya memberi makna ideal pada gerakan kebangkitan Nasional Indonesia yang lahir seabad silam itu? Haruskah kebangkitan nasional kemudian diubah menjadi kebangkitan kekerasan seperti apa yang terjadi di Monas baru-baru ini? Seharusnya tidak. Tetapi nyatanya terjadi di berbagai daerah di republik ini, seolah-olah secara berjamaah, berbagai tindak kekerasan, pengingkaran, penghujatan, atau konflik-konflik horizontal sudah menjadi mode kehidupan. Mungkin kita perlu bernostalgia, mengalami eforia, merenungkan kembali peristiwa-peristiwa genting masa lampau untuk bisa memaknai kembali arti sebuah kebangkitan tanpa kekerasan. Jika demikian, sungguh sebuah kerja yang melelahkan.
Pendidikan, harus mampu menjadi landasan perubahan untuk memacu pertumbuhan kualitas anak-anak bangsa. Kualitas dalam konteks ini adalah yang berskala global. Dengan demikian perilaku kita secara kolektif bisa mencerminkan sebuah bangsa yang menghargai hukum, adat kebiasaan yang santun, memahami adanya pluralitas yang sejak awal memang telah menjadi kurikulum wajib yang telah didesain oleh sang kholiq, pencipta semesta alam ini. Apa jadinya kalau dunia ini tidak ditakdirkan memiliki keanekaragaman kehidupan. Tentu banyak orang yang frustrasi dalam mengarungi kehidupannya. Itulah sebabnya misi penting dalam pendidikan salah satunya ialah membangun kesadaran akan pentingnya keberbedaan dalam pluralitas kehidupan, termasuk di dalamnya kebebasan untuk memilih keyakinan dengan menghormati keyakinan orang lain secara proporsional. Pada akhirnya pendidikan harus bisa menjadi katalisator bagi setiap upaya untuk menuju keadaan yang damai dan anti kekerasan, dan dengan demikian juga meredam munculnya ”kebangkitan kekerasan”.
Oleh karena itu, pendidikan kita harus mampu menihilkan munculnya ideologi dan pemikiran yang memiliki fenomena bangkitnya fenomena kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuk harus kita hentikan. Untuk itu, pendidikan harus mampu mengeliminir konflik-konflik kepentingan yang menyebabkan munculnya ketimpangan dalam penguasaan pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks yang lebih spesifik, pendidikan harus mampu memberi arah yang lebih nyata, dan pada gilirannya mampu menjadi pencerah semangat kebangsaan untuk membebaskan diri dari jerat berbagai pertarungan kepentingan. Pendidikan harus mampu berdiri bebas sebagai filter dalam menghadapi berbagai pengaruh-pengaruh ideologi negatif dari luar yang penuh “jebakan”.
Indonesia sebagai sebuah Negara demokrasi terbesar ketiga yang kaya dengan nilai-nilai peradaban, sudah seharusnya menjadi trend setter perubahan peradaban. Sebagai trend setter perubahan maka toleransi dan transparansi selayaknya berkembang lebih subur. Dengan demikian, dalam semangat yang toleran tersebut maka pengembangan kualitas sumberdaya manusia melalui sektor pendidikan dapat dilakukan secara tepat, terarah, dan terencana. Dengan demikian “kebangkitan kekerasan” dalam berbagai manifestasinya dapat dicegah.
Konflik-konflik horizontal yang terjadi belakangan, seperti konflik SARA, kekerasan Monas, maupun konflik politik yang terjadi secara sporadik merupakan contoh buruk dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu pendidikan perlu didesain bagaikan “anti biotiknya” infeksi budaya kebangkitan kekerasan, yang kalau tidak segera ditangani melalui praksis pendidikan yang tepat dosis akan menjadi penyakit sosial yang mengerikan. Untuk itu, semangat perubahan yang menjadi ideologi pembangunan pendidikan dan peradaban dunia harus benar-benar menjadi lambang dan sekaligus sebagai praktik kebebasan mengembangkan potensi anak-anak bangsa menuju terbentuknya insan yang menghargai perbedaan antar sesama, toleran terhadap keunikan orang lain, tidak terkaget-kaget dengan keberhasilan orang lain, dan sebaliknya memiliki empati yang tulus terhadap berbagai keterbelakangan dan kekumuhan yang menimpa orang atau kelompok lain.
“Kebangkitan kekerasan” harus kita hadapi secara sadar dan rasional. Pendidik harus mulai secara terintegrasi memasukkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, simpati, empati, pada mata pelajaran yang diampunya. Dengan cara seperti ini kita bisa berharap sepuluh tahun ke depan anak-anak kita akan memiliki sikap yang otonom terhadap berbagai tawaran dan jualan perilaku yang merupakan sembolisasi dari suatu kekerasan. Di dalam konteks pembangunan pendidikan secara makro, nilai-nilai pluralisme yang dikembangkan melalui pendidikan multi-kultural perlu dijadikan ideology penting bagi pengembangan pendidikan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk melebur nilai-nilai primordialisme yang seringkali berkembang menjadi benih-benih “kebangkitan kekerasan”. Penguatan nilai multi-kultural, dengan demikian, diharapkan dapat membangun semangat nasionalisme Indonesia yang majemuk. Dalam kemajemukan itulah nasionalisme harus tumbuh dan berkembang mengantar bangsa ini keperadaban yang santun. Semoga begitu.
0 komentar:
Posting Komentar