Banting Stir ke Software Eduk
Software edukasi buatan orang Indonesia sudah dijual di 23 negara di Indonesia? Mungkin banyak yang tidak percaya. Namun itulah yang terjadi saat Pesona Edu-software edukasi yang didirikan Hary S. Chandra pada 1987. Dalam kisahnya, ia harus ‘berdarah-darah’ dulu selama 19 tahun untuk mengembangkan software edukasi miliknya.
Itu sedikit gambaran yang diceritakan Hary saat menjadi pembicara Digital Joint Update Session (DJUS) Volume 4. Diskusi interaktif yang diselenggarakan oleh Teknopreneur Indonesia bekerja sama dengan Masyarakat Industri Kreatif TIK Indonesia (MIKTI) dan Creative Trees, pada Rabu (28/10). Tema yang diangkat adalah "Software Edukasi, Solusi Penuh Visi".
Dalam presentasinya, Hary menyatakan bahwa Pemerintah sudah menganggarkan Rp500 juta sampai Rp 1 triliun untuk biaya pendidikan di Indonesia. Satu sekolah memiliki ‘jatah’ di bidang TI sebesar Rp40 juta, terdiri dari Rp12 juta untuk biaya hardware dan biaya software sebesar Rp28 juta.
“Daya saing software edukasi dengan di negara-negara lain pun cukup rendah, tidak sebesar industri di bidang games atau animasi. Maka dari itu, bagi yang ingin berkecimpung di bidang software edukasi, peluangnya masih sangat besar,” ujar Hary.
Pria yang mendirikan software edukasi (saat ini dikenal dengan e-Learning) pada 1987 ini juga menambahkan, karakteristik dari software edukasi cenderung statis. Suatu teori yang diajarkan berpuluh-puluh tahun yang lalu, tidak mungkin berubah hingga sekarang. Misalnya saja Teori Archimedes atau Rumus Phytagoras.
“Jika saat ini segala industri telah ‘melek’ IT, tidak demikian dengan dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena daya pikir para guru sendiri yang masih konvensional. 70% guru yang bekerja di kantor saya saja menyebutkan bahwa mereka sendiri hanya menggunakan mouse (tetikus PC-red) saat bekerja di kantor saya tersebut,” papar Hary.
Pembicara kedua yang hadir adalah Agung Harsoyo (Founder Crayonpedia- Create Your Open Education Content Ensiklopedia). Ia mendirikan situs crayonpedia.org karena ingin menunjukkan bahwa pendidikan bisa juga mengikuti tren seperti di bidang TIK. Agung menyebutnya tipe Sekolah 1.0, Sekolah 1.5 dan Sekolah 2.0. Portal Crayonpedia yang ia dirikan bersamaan dengan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional itu sendiri masuk dalam Sekolah 2.0.
“Jika Sekolah 1.0 dan 1.5 para siswa hanya bisa menerima teori atau men-download pelajaran dari buku sekolah elektronik, maka di Crayonpedia, para pelajar juga bisa meng-upload pelajaran baru atau menambahkan teori yang sebelumnya sudah ada di web. Sistemnya sepeti situs Wikipedia,” jelas Agung.
Ketua Umum MIKTI Indra Utoyo (baju putih) dan Sekretaris Jendral MIKTI Harry S. Sungkari (batik biru) Menyerahkan Plakat kepada Dua Pembicara DJUS 4 Agung Harsoyo (batik merah) dan Hary S. Chandra (batik cokelat)
Sebagai penutup acara, Indra Utoyo selaku Ketua Umum MIKTI menyatakan, bahwa peluang bekerja di bidang software edukasi sangat luas. Menurutnya, setiap orang itu pada dasarnya senang untuk ‘dimampukan’ atau ‘dicerdaskan’ (ditambah pengetahuannya-red). Dirut Telkom ini menyebutnya dengan istilah ‘the power of unreasonable’.
“Bagaimana guru saat ini tidak hanya mendapatkan dan menyebarkan materi kepada murid-muridnya, tetapi juga bisa mengubah dan menambahkan materi-materi tersebut. Hasilnya, akan menjadi materi ajar yang bagus dan komprehensif. Dan ini merupakan pekerjaan mulia dan amalnya banyak,” tutup Indra, yang diikuti oleh tawa para peserta dan pembicara.
0 komentar:
Posting Komentar