Top Ads

Hary S. Candra, Mimpi Dirikan Indonesia Education Software Republic

Sudah dua puluh tiga tahun industri software edukasi hidup di Indonesia. Diawali dengan lahirnya perusahaan pengembang software edukasi pertama Pesona Edu, kini lebih kurang 20 pengembang bermain di bisnis ini. Namun sayangnya di usia yang semakin dewasa, industri ini masih saja kerap terganjal bahkan pertumbuhannya terbilang lambat. Padahal industri software edukasi memiliki potensi besar untuk mengantarkan Indonesia menjadi pemain IT kelas dunia.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kepada reporter TEKNOPRENEUR, Fitria Andayani, Ketua Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia (PPSEI), Hary S. Candra, menjawab pertanyaan tersebut dan mengungkap sejumlah fakta soal perkembangan industri software edukasi lokal saat ini. Berikut petikan wawancaranya :
Bagaimana Anda melihat perkembangan industri software edukasi di Indonesia saat ini?
Sejak 2002 hingga sekarang menurut saya pengembang software Indonesia mulai ramai. Seingat saya dahulu pada 2001 baru ada 1 atau 2 pengembang saja. Namun sekarang lebih kurang terdapat 20 pengembang software pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh situasi zaman yang berubah. Sekarang para siswa sudah diperkenalkan dengan berbagai metode pembelajaran IT seperti e-learning atau digital text book.
Sejumlah sekolah dan para guru juga mulai menyadari bahwa metode pembelajaran dengan cara konvensional tidak lagi menarik bagi para siswa. Perlu media yang bisa membuat mereka tertarik menyimak pelajaran yang diberikan. Tak hanya itu tingkat kepemilikan komputer oleh siswa saat ini juga tinggi. Sehingga software pendidikan menjadi pilihan untuk melengkapi program di komputer mereka. Kecenderungan ini tak hanya terdapat di Indonesia namun secara umum merata di seluruh dunia.
Apa pendapat Anda tentang dunia pendidikan Indonesia saat ini dan pentingnya penggunaan software pendidikan di Indonesia?
Tolong diingat bahwa institusi pendidikan adalah institusi yang paling lambat menyerap teknologi. Jangan kaget kalau sebuah SD di California, Amerika, belum menggunakan komputer, atau sebagian SD di Prancis tidak mau pakai komputer. Kebanyakan guru masih bangga mengatakan ”saya yang mengajar pakai kapur dan papan tulis pun, murid saya toh ada yang jadi Andrea Hirata atau SBY, lalu mengapa saya harus mengubah cara mengajar saya?”. Pikiran seperti ini tentu tidak sepenuhnya benar, mereka tidak bisa terus menerus pakai kaca mata kuda. Oleh karena itu dunia saat ini menggalakkan penggunaan software pendidikan.
Bagaimana potensi industri software edukasi di Indonesia?
Potensinya besar sekali. Indonesia memiliki 45 sampai 50 juta siswa, 250.000 sekolah dari SD hingga SMA, termasuk MI, Tsanawiyah dan Aliyah, dan terdapat 3 juta guru. Ini adalah celah pasar yang besar. Tinggal bagaimana membuat mereka juga sadar bahwa software edukasi adalah barang penting untuk dunia pendidikan Indonesia. Dari 20% dana yang dialokasikan pemerintah untuk memajukan pendidikan, tentu sebagiannya pasti digunakan untuk membeli software pendidikan. Baik software konten pelajaran maupun software sistem manajemen sekolah. Selain itu masih banyak celah pada industri software edukasi yang bisa diisi. Saat ini kebanyakan software hanya berkisar pada ilmu pasti, software edukasi lain seperti geografi, cara bercocok tanam, pelatihan teller banking, belum tersedia.
Bagaimana Anda melihat peluang pengembang software Indonesia untuk merebut pasar software edukasi dunia?
Kalau kita bicara IT, sekarang lupakan soal hardware, itu punyanya Cina. Lupakan pula untuk bersaing menciptakan software Operating System, itu lahannya Microsoft atau search engine yang pasarnya dikuasai google dan yahoo. Nah Indonesia, kalau kita mau membuat software secara general kita tidak mungkin bersaing.
Di depan para pengrajin software dan Sultan di Yogyakarta saya pernah bilang, fokus saja tidak cukup, kita harus sangat amat fokus. Fokus tersebut dialamatkan ke software pendidikan. Saya yakin sekali, karena saya sudah lihat peluangnya di 23 negara. Tidak ada satupun negara yang dominan ataupun global brand yang kuat dalam industri pembuatan software jenis itu. Menurut saya, di dunia Pesona Edu hanya merasa punya dua saingan satu Edu Media Sciences dari Prancis dan Explore Learning dari Amerika. Mereka kompetitor Pesona Edu dalam hal kualitas, sedangkan pengembang lainnya belum menjadi kompetitor kami.
Menurut Anda bagaimana kualitas software pendidikan lokal saat ini ketimbang software edukasi impor?
Secara umum saya bilang jelek. Bukan hanya Indonesia tetapi juga produk negara lain. Hal ini wajar karena industri ini di seluruh dunia relatif baru berkembang. Meskipun ada beberapa software pendidikan yang berkualitas bagus. Mereka umumnya pemain lama di industri ini, seperti Pesona Edu.
Karena kualitasnya yang sama jadi aneh bila sekarang pemerintah meragukan kualitas software bikinan lokal. Kami sangat siap untuk uji kualitas secara fair. Panggil guru-guru dan ahli-ahli pendidikan untuk menilai software kami, kami yakin mereka akan lebih menyukai software buatan kami.
Kalaupun pemerintah merasa software impor lebih bagus, maka tolong produk-produk tersebut diakreditasi atau dilokalisasi terlebih dahulu agar sesuai dengan kebutuhan Indonesia, bukan cuma diterjemahkan saja. Akreditasi seperti ini dilakukan di seluruh dunia. Pesona edu pun melakukannya ketika memenangkan tender di luar negeri. Negara lain menerapkan sistem itu mengapa di Indonesia tidak?
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menggalakkan penggunaan software pendidikan ini?
Pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk mengutamakan produksi software pendidikan di bandingkan yang lainnya. Hal ini dilakukan agar Indonesia bisa menjadi pemain kelas dunia (world player). Untuk menuju kesitu, memberikan himbauan untuk menggunakan produk dalam negeri saja itu tidak cukup. Pemerintah harus berbuat lebih dari itu, misalnya menerapkan bebas pajak untuk software edukasi atau mengalokasikan dana khusus untuk pengembangan software tersebut.
Seperti Sultan (Sri Sultan Hamengkubuwono X – red) yang mengalokasikan 10 miliar rupiah sebagai jaminan bagi para perajin software di Yogyakarta, atau Korea yang membuat bank khusus untuk para pembuat game. Selain itu stakeholder dan pemerintah harus membuat roadmap yang jelas. Pemerintah pun hendaknya membuat regulasi yang berpihak. Selain itu harus ada kompetisi reguler dan sekolah yang khusus untuk meningkatkan kemampuan para pengembang. Tak hanya itu harus pula diadakan program business matching untuk mempertemukan para pembuat software dengan pembelinya. Pembeli terbesar tentunya adalah Depdiknas dan para jajarannya.
Saya mimpi suatu saat 50 tahun lagi mungkin ketika saya sudah berada dalam peti mati, Indonesia bisa menjadi pemain dunia. Kalau orang Malaysia mau cari hardware suruh ke Cina tapi kalau mau cari software pendidikan Indonesia tempatnya. Ketika itu Indonesia telah menjadi Indonesia Education Software Republic.

Hary S. Candra
Ketua Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia
Ketua kluster software pendidikan MIKTI
Pendiri Pesona Edu

0 komentar:

Posting Komentar