Top Ads

Saatnya Software Edukasi Lokal Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Pesona. edu
Sering kita mendengar jargon ’Cintai Produk Dalam Negeri’. Namun, apakah jargon tersebut benar-benar melekat pada setiap sendi kehidupan kita. Nyatanya, tak banyak orang yang menerapkan jargon tersebut.
Salah satunya pengguna software. Masyarakat Indonesia cenderung masih percaya dengan produk buatan luar negeri. Software impor ini dinilai lebih compatible dibandingkan produk lokal. Kenyataan ini kerap dirasakan langsung oleh sejumlah pengembang software pendidikan di Indonesia.
Pesona.edu salah satunya. Software buatan anak negeri ini mampu bersaing dengan software edukasi luar lainnya. Software ini bahkan telah dipakai di 23 negara di dunia. Menjadi satu dari sembilan partner Microsoft yang ada di dunia. Pemenang Asia Pasific Industry Creative Technology Award (APICTA) 2009 ”Kami the best three in the world dalam lomba PBB. Software kami digunakan oleh Stanford University. Kami mendapatkan penghargaan world summit,” ujar Hary S. Candra, pendiri Pesona.edu. Di tingkat nasional Pesona.edu memenangkan hajatan Depdiknas yaitu e-learning award berturut-turut pada 2006 dan 2007.
Namun anehnya dengan segudang prestasi yang diperolehnya, Pesona.edu dan sejumlah pengembang software edukasi lokal tersingkir dalam tender pengadaan virtual lab yang diselenggarakan oleh Depdiknas awal Mei lalu. Tak heran bila banyak orang mengira tender tersebut ditenggarai hanya formalitas, tidak adil, dan sejak awal sudah berniat untuk menggunakan software impor. Hal ini tampak dari tidak lazimnya persyaratan tender yang diajukan. ”Di Indonesia tidak ada perusahaan software yang mengembangkan virtual lab. Bahkan di dunia hanya beberapa yang membuatnya,” ujar Hary.
Selain itu menurut Hary, aneh pula bila dinas pendidikan menganggap pengadaan virtual lab bagi pendidikan Indonesia saat ini penting. Kenyataannya komposisi pengajaran di Indonesia masih 60% teori, latihan soal 20-30%, sedangkan observasi dan latihan laboratorium hanya 10-20%. ”Artinya pendidikan Indonesia lebih memerlukan software yang berisikan teori dan latihan soal dibandingkan virtual lab,” tutur Hary yang juga ketua Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia (PPSEI).
Lagi pula bila memang Depdiknas merasa memerlukan virtual lab, kebanyakan software edukasi yang dikembangkan oleh pengembang lokal, sudah memasukkan aspek laboratorium dan praktek lapangan di dalam software mereka. “Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk pemerintah menggunakan produk impor,” ujar Hary.
Masalah tersebut membuktikan bahwa pemerintah khususnya Departemen Pendidikan masih belum bisa mempercayai produk dalam negeri. Mereka masih belum berkomitmen untuk menggunakan konten lokal. Kenyataan ini pula yang membuat Menteri Perindustrian, Fahmi Idris, menyampaikan surat pertimbangan kepada Menteri Pendidikan pada 25 Mei 2009. Fahmi meminta Depdiknas memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada para pengembang software edukasi lokal untuk mengikuti tender-tender Depdiknas selanjutnya secara adil.
Terlepas dari masalah masih minimnya perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap pengembang software edukasi Indonesia, saat ini industri software jenis ini sangat menjanjikan. Lebih kurang sejak 2002 hingga kini terdapat 20 perusahaan lokal pengembang software edukasi.
Putu Sudiarta, pengembang software edukasi dari PT Bamboo Media menyatakan, saat ini pengembang lokal sudah semakin baik dan mampu bersaing di tingkat nasional maupun dunia. ”Oleh karena itu, komitmen Pemerintah terkait software pendidikan ke depan harus lebih memprioritaskan produksi pengembang dalam negeri, sehingga uang kita tidak lari keluar dan pengembang lokal juga berkembang,” tutur Putu.
Pengembang software asal Pulau Dewata ini menambahkan, pemerintah juga diharapkan lebih mendukung software edukasi lokal dalam hal pemakaian. “Saat ini software pendidikan semakin banyak dan diminati, guru, siswa, dan sekolah mulai menggunakan perangkat ICT dalam proses belajar mengajar. Hal ini dilakukan agar proses belajar mengajar lebih cepat dan akurat,” jelas Putu.
Prioritas penggunaan software pendidikan lokal ini juga ditujukan untuk memajukan industri dalam negeri. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan memakai software buatan anak negeri ini. Negara lain pun sudah mengakui keunggulan software edukasi buatan Indonesia, kenapa negara kita tidak? Sudah saatnya software edukasi lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar