Pembiayaan/Pendanaan Sekolah
Sekolah menyediakan dana yang cukup dan berkelanjutan untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah. Artinya, sekolah harus menyediakan dana pendidikan secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, sekolah berkewajiban menghimpun, mengelola, dan mengalokasikan dana untuk mencapai tujuan sekolah. Dalam mengimpun dana, sekolah perlu memperhatikan semua potensi sumberdana yang ada seperti misalnya subsidi pemerintah, sumbangan masyarakat/orangtua siswa, hibah, dan sumbangan perusahaan. Pengelolaan dana pendidikan di sekolah harus dilakukan secara transparan, efisien, dan akuntabel sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dana pendidikan di sekolah dialokasikan berdasarkan prinsip keadilan (equity/fairness) dan pemerataan (equality) yaitu tidak diskriminatif terhadap anggaran biaya yang diperlukan untuk masing-masing kegiatan sekolah.
Standar: Sekolah menyediakan dana pendidikan yang cukup dan berkelanjutan untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah. Sekolah menghimpun dana dari potensi sumber dana yang bervariasi. Sekolah mengelola dana pendidikan secara transparan, efisien, dan akuntabel sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dalam mengalokasikan dana pendidikan, sekolah berpegang pada prinsip keadilan dan pemerataan. Pengelolaan dana sekolah dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
7. Peserta Didik
Standar peserta didik mencakup: (a) penerimaan siswa baru dan pengembangan/pembinaan siswa dan (b) keluaran (output dan outcome).
a. Penerimaan Siswa Baru dan Pengembangan Siswa
Peserta didik adalah warga masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Dalam lingkup sekolah, peserta didik adalah siswa. Siswa merupakan salah satu input yang sangat determinan bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Kesadaran akan hal perlu karena prestasi belajar siswa pada dasarnya merupakan upaya kolektif antara siswa dan guru.
Pada tataran input, setidaknya ada enam hal yang harus diperhatikan oleh sekolah yaitu seleksi siswa baru, penyiapan belajar siswa, pembinaan/ pengembangan, pembimbingan, pemberian kesempatan, dan evaluasi hasil belajar siswa. Seleksi siswa dimaksudkan untuk mendapatkan calon siswa baru yang memenuhi persyaratan baik akademis maupun non akademis yang diperlukan untuk sukses belajar. Penyiapan belajar siswa, baik mental maupun pisik, merupakan salah satu faktor dominan yang sangat berpengaruh pada kualitas proses pembelajaran. Makin tinggi tingkat kesiapan siswa, makin tinggi pula kualitas pembelajaran. Pembinaan dan pengembangan siswa, seperti misalnya, intelektual, spiritual, emosi, dan rasa merupakan tugas penting sekolah. Pemberian kesempatan kepada siswa dalam berbagai upaya sekolah seperti misalnya pengembangan kepemimpinan siswa, pengembangan kurikulum, pengambilan keputusan, dan perencanaan rekreasi, adalah merupakan contoh pemberian kesempatan kepada siswa. Yang tidak kalah penting dalam kaitannya dengan peserta didik adalah evaluasi belajar siswa. Evaluasi hasil belajar siswa sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat keberhasilan siswa. Tanpa evaluasi, sulit untuk menyatakann tingkat kemajuan prestasi belajar siswa.
Standar: Penerimaan siswa baru didasarkan atas kriteria yang jelas, transparan dan dipublikasikan. Siswa memiliki tingkat kesiapan belajar yang memadai, baik mental maupun fisik. Sekolah memiliki program yang jelas tentang pembinaan, pengembangan, dan pembimbingan siswa. Sekolah memberi kesempatan yang luas kepada siswa untuk berperanserta dalam penyelenggaraan program sekolah. Sekolah melakukan evaluasi belajar yang memenuhi persyaratan evaluasi.
b. Keluaran
Keluaran sekolah mencakup output dan outcome. Output sekolah adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa baik peserta didik mampu mengikuti proses pembelajaran. Idealnya, hasil belajar harus mengekspresikan tiga unsur kemampuan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pertama, kemampuan kognitif tidaklah semata-mata mengukur prestasi belajar berupa NUAN saja, akan tetapi harus juga mengukur kemampuan berpikir ganda, seperti misalnya berpikir deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif, nalar, eksploratif, diskoveri, lateral, dan berpikir sistem. Kedua, hasil belajar harus juga mengukur kemampuan afektif, yang pada dasarnya adalah mengukur kualitas batiniyah/karakter manusia, seperti misalnya iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kasih sayang, kejujuran, kesopanan, toleransi, tanggungjawab, keberanian moral, komitmen, disiplin diri, dan estetika. Ketiga, hasil belajar harus juga mengukur psikomotor, yang meliputi keterampilan olahraga (atletik, sepakbola, badminton, dsb.), kesehatan (daya tahan, bebas penyakit), dan kesenian (musik, visual, teater, dan kriya). Oleh karena itu, tidaklah cukup jika hasil belajar hanya diukur dengan hasil tes berupa NUAN.
Mengingat hasil belajar merupakan peleburan ketiga unsur kemampuan tersebut yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, maka hasil belajar dapat dikelompokkan kembali menjadi prestasi akademik, prestasi non-akademik, angka mengulang, dan angka putus sekolah. Prestasi akademik meliputi, misalnya, NEM, cara berpikir, lomba karya ilmiah remaja, lomba Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris. Prestasi non-akademik meliputi, antara lain, karakter/kualitas pribadi, prestasi olah raga, prestasi kesenian, dan prestasi kepramukaan.
Berpangkal pada pengelompokan hasil belajar tersebut, maka model penilaian yang digunakan tidak lagi semata-mata tes tertulis (kertas dan pensil), akan tetapi menggunakan model evaluasi terpadu, yang terdiri dari tes tertulis, tes kinerja, tugas-tugas, portofolio, dan proyek-proyek akademis/non-akademis yang dilakukan secara kerja kelompok. Model evaluasi seperti ini akan lebih valid, reliabel, obyektif, dan otentik untuk mengukur hasil belajar peserta didik.
Outcome adalah dampak jangka panjang dari output/hasil belajar, baik dampak bagi tamatan maupun bagi masyarakat. Idealnya, hasil belajar selalu terkait erat dengan outcome. Artinya, jika hasil belajar bagus, dampaknya juga akan bagus. Dalam kenyataan tidak selalu demikian karena outcome dipengaruhi oleh banyak faktor diluar hasil belajar. Outcome memiliki dua dimensi, yaitu: (1) kesempatan pendidikan dan kesempatan kerja, dan (2) pengembangan diri alumni. Sekolah yang baik memberikan banyak kesempatan/akses kepada alumninya untuk meneruskan pendidikan berikutnya dan kesempatan/akses untuk memilih pekerjaan. Sekolah yang baik juga membekali kecakapan alumninya untuk mengembangkan diri dalam kehidupan. Pengembangan diri yang dimaksud adalah pertumbuhan intelektualitas yang dihasilkan dari proses pembelajaran di sekolah.
Pada dasarnya, sekolah yang baik memiliki kepedulian terhadap nasib alumninya. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam bentuk studi penelusuran, yang esensinya adalah pelacakan terhadap alumninya. Studi penelusuran ini memiliki manfaat ganda yaitu, selain peduli terhadap alumninya, juga untuk mencari umpan balik bagi perbaikan program-program di sekolahnya sehingga mutu, relevansi, dan akses dapat ditingkatkan. Inilah fokus pendidikan yang sesungguhnya harus diperhatikan oleh sekolah.
Standar: Sekolah menghasilkan output/hasil belajar yang memadai dalam prestasi akademik dan prestasi non-akademik (olah raga, kesenian, keagamaan, keterampilan kejuruan, dsb.). Sekolah menggunakan alat evaluasi yang relevan untuk mengukur hasil belajar ganda (prestasi akademik dan prestasi non-akademik), yang dibuktikan oleh tingkat validitas, reliabilitas, obyektivitas, dan otentisitas yang tinggi. Angka mengulang kelas dan angka putus sekolah relatif kecil. Selain itu, sekolah melakukan studi penelusuran alumni secara berkala untuk mengetahui status mereka, baik kesempatan melanjutkan pendidikan, kesempatan kerja, dan pengembangan diri alumni. Hasil studi penelusuran digunakan untuk memperbaiki program-program sekolah dan didokumentasikan secara rapi agar mudah diakses oleh siapapun yang membutuhkan.
8. Peranserta Masyarakat
Idealnya, pendidikan mengajarkan siswa tentang kecakapan yang diperlukan untuk menjalani hidup dan kehidupan di masyarakat tingkat lokal, nasional, internasional. Oleh karena itu, apa yang dididikkan di sekolah idealnya harus relevan dengan tuntutan-tuntutan nilai luhur dan harapan-harapan masyarakat. Lebih dari itu, pendidikan juga harus mampu mengubah masyarakat di sekitarnya. Jadi, hubungan simbiosis antara sekolah-masyarakat merupakan keniscayaan.
Disamping itu, sekolah akan tumbuh subur jika mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitarnya. Dukungan-dukungan dari masyarakat, baik berupa finansial, moral, informasi, jasa (pemikiran, ide-ide, idealisme, keterampilan), maupun berupa barang, sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah.
Selanjutnya, konsekwensi logis dari otonomi pendidikan sangat jelas, yaitu pendidikan tidak lagi semata-mata merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah, tetapi masyarakat juga harus berperanserta secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan tidak lagi semata-mata dimonopoli dan berbasis pemerintah (swadaya pemerintah), akan tetapi juga berbasis masyarakat. Bahkan ada kecenderungan bahwa pendidikan masa depan adalah pendidikan berbasis masyarakat. Pada dasarnya, pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang diarahkan, dimiliki, dan didukung oleh masyarakat sekitar yang dilayani oleh institusi pendidikan (sekolah). Jadi, masyarakat memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan, baik sebagai mitra sekolah, sebagai penasehat, sebagai pendukung, dan sebagai pengontrol pendidikan di sekolah. Jika demikian, maka sekolah akan dipandang sebagai sekolah masyarakat dan bukannya sebagai sekolah pemerintah yang berada di masyarakat. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki identitas dan kepentingan berbeda-beda, misalnya kelompok-kelompok: orangtua siswa, organisasi profesi, organisasi buruh, organisai pengusaha, akademisi, praktisi, tokoh masyarakat, dokter, petani, yayasan, dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan sekolah-masyarakat bukan lagi sekadar penting, tetapi sudah merupakan keharusan.
Dalam kerangka itulah, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Esensi kelembagaan ini adalah bahwa masyarakat memiliki peran sebagai pemberi pertimbangan (advisor), pendukung (supporter), penghubung (mediator), dan pengontrol (controller). Oleh karena itu, lembaga ini harus diberdayakan.
Standar: Peranserta masyarakat meliputi partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Hubungan antara sekolah-masyarakat, baik menyangkut substansi maupun strategi pelaksanaanya, ditulis dan dipublikasikan secara eksplisit dan jelas. Sekolah melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam pendidikan di sekolah melalui strategi-strategi sebagai berikut: (1) memberdayakan melalui berbagai media komunikasi (media tertulis, pertemuan, kontak langsung secara individual, dsb.); (2) menciptakan dan melaksanakan visi, misi, tujuan, kebijakan, rencana, program, dan pengambilan keputusan bersama; (3) mengupayakan jaminan komitmen sekolah masyarakat melalui kontrak sosial; dan (3) mengembangkan model-model partisipasi masyarakat sesuai tingkat kemajuan masyarakat.
Standar: Sekolah menyediakan dana pendidikan yang cukup dan berkelanjutan untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah. Sekolah menghimpun dana dari potensi sumber dana yang bervariasi. Sekolah mengelola dana pendidikan secara transparan, efisien, dan akuntabel sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dalam mengalokasikan dana pendidikan, sekolah berpegang pada prinsip keadilan dan pemerataan. Pengelolaan dana sekolah dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
7. Peserta Didik
Standar peserta didik mencakup: (a) penerimaan siswa baru dan pengembangan/pembinaan siswa dan (b) keluaran (output dan outcome).
a. Penerimaan Siswa Baru dan Pengembangan Siswa
Peserta didik adalah warga masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Dalam lingkup sekolah, peserta didik adalah siswa. Siswa merupakan salah satu input yang sangat determinan bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Kesadaran akan hal perlu karena prestasi belajar siswa pada dasarnya merupakan upaya kolektif antara siswa dan guru.
Pada tataran input, setidaknya ada enam hal yang harus diperhatikan oleh sekolah yaitu seleksi siswa baru, penyiapan belajar siswa, pembinaan/ pengembangan, pembimbingan, pemberian kesempatan, dan evaluasi hasil belajar siswa. Seleksi siswa dimaksudkan untuk mendapatkan calon siswa baru yang memenuhi persyaratan baik akademis maupun non akademis yang diperlukan untuk sukses belajar. Penyiapan belajar siswa, baik mental maupun pisik, merupakan salah satu faktor dominan yang sangat berpengaruh pada kualitas proses pembelajaran. Makin tinggi tingkat kesiapan siswa, makin tinggi pula kualitas pembelajaran. Pembinaan dan pengembangan siswa, seperti misalnya, intelektual, spiritual, emosi, dan rasa merupakan tugas penting sekolah. Pemberian kesempatan kepada siswa dalam berbagai upaya sekolah seperti misalnya pengembangan kepemimpinan siswa, pengembangan kurikulum, pengambilan keputusan, dan perencanaan rekreasi, adalah merupakan contoh pemberian kesempatan kepada siswa. Yang tidak kalah penting dalam kaitannya dengan peserta didik adalah evaluasi belajar siswa. Evaluasi hasil belajar siswa sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat keberhasilan siswa. Tanpa evaluasi, sulit untuk menyatakann tingkat kemajuan prestasi belajar siswa.
Standar: Penerimaan siswa baru didasarkan atas kriteria yang jelas, transparan dan dipublikasikan. Siswa memiliki tingkat kesiapan belajar yang memadai, baik mental maupun fisik. Sekolah memiliki program yang jelas tentang pembinaan, pengembangan, dan pembimbingan siswa. Sekolah memberi kesempatan yang luas kepada siswa untuk berperanserta dalam penyelenggaraan program sekolah. Sekolah melakukan evaluasi belajar yang memenuhi persyaratan evaluasi.
b. Keluaran
Keluaran sekolah mencakup output dan outcome. Output sekolah adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa baik peserta didik mampu mengikuti proses pembelajaran. Idealnya, hasil belajar harus mengekspresikan tiga unsur kemampuan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pertama, kemampuan kognitif tidaklah semata-mata mengukur prestasi belajar berupa NUAN saja, akan tetapi harus juga mengukur kemampuan berpikir ganda, seperti misalnya berpikir deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif, nalar, eksploratif, diskoveri, lateral, dan berpikir sistem. Kedua, hasil belajar harus juga mengukur kemampuan afektif, yang pada dasarnya adalah mengukur kualitas batiniyah/karakter manusia, seperti misalnya iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kasih sayang, kejujuran, kesopanan, toleransi, tanggungjawab, keberanian moral, komitmen, disiplin diri, dan estetika. Ketiga, hasil belajar harus juga mengukur psikomotor, yang meliputi keterampilan olahraga (atletik, sepakbola, badminton, dsb.), kesehatan (daya tahan, bebas penyakit), dan kesenian (musik, visual, teater, dan kriya). Oleh karena itu, tidaklah cukup jika hasil belajar hanya diukur dengan hasil tes berupa NUAN.
Mengingat hasil belajar merupakan peleburan ketiga unsur kemampuan tersebut yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, maka hasil belajar dapat dikelompokkan kembali menjadi prestasi akademik, prestasi non-akademik, angka mengulang, dan angka putus sekolah. Prestasi akademik meliputi, misalnya, NEM, cara berpikir, lomba karya ilmiah remaja, lomba Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris. Prestasi non-akademik meliputi, antara lain, karakter/kualitas pribadi, prestasi olah raga, prestasi kesenian, dan prestasi kepramukaan.
Berpangkal pada pengelompokan hasil belajar tersebut, maka model penilaian yang digunakan tidak lagi semata-mata tes tertulis (kertas dan pensil), akan tetapi menggunakan model evaluasi terpadu, yang terdiri dari tes tertulis, tes kinerja, tugas-tugas, portofolio, dan proyek-proyek akademis/non-akademis yang dilakukan secara kerja kelompok. Model evaluasi seperti ini akan lebih valid, reliabel, obyektif, dan otentik untuk mengukur hasil belajar peserta didik.
Outcome adalah dampak jangka panjang dari output/hasil belajar, baik dampak bagi tamatan maupun bagi masyarakat. Idealnya, hasil belajar selalu terkait erat dengan outcome. Artinya, jika hasil belajar bagus, dampaknya juga akan bagus. Dalam kenyataan tidak selalu demikian karena outcome dipengaruhi oleh banyak faktor diluar hasil belajar. Outcome memiliki dua dimensi, yaitu: (1) kesempatan pendidikan dan kesempatan kerja, dan (2) pengembangan diri alumni. Sekolah yang baik memberikan banyak kesempatan/akses kepada alumninya untuk meneruskan pendidikan berikutnya dan kesempatan/akses untuk memilih pekerjaan. Sekolah yang baik juga membekali kecakapan alumninya untuk mengembangkan diri dalam kehidupan. Pengembangan diri yang dimaksud adalah pertumbuhan intelektualitas yang dihasilkan dari proses pembelajaran di sekolah.
Pada dasarnya, sekolah yang baik memiliki kepedulian terhadap nasib alumninya. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam bentuk studi penelusuran, yang esensinya adalah pelacakan terhadap alumninya. Studi penelusuran ini memiliki manfaat ganda yaitu, selain peduli terhadap alumninya, juga untuk mencari umpan balik bagi perbaikan program-program di sekolahnya sehingga mutu, relevansi, dan akses dapat ditingkatkan. Inilah fokus pendidikan yang sesungguhnya harus diperhatikan oleh sekolah.
Standar: Sekolah menghasilkan output/hasil belajar yang memadai dalam prestasi akademik dan prestasi non-akademik (olah raga, kesenian, keagamaan, keterampilan kejuruan, dsb.). Sekolah menggunakan alat evaluasi yang relevan untuk mengukur hasil belajar ganda (prestasi akademik dan prestasi non-akademik), yang dibuktikan oleh tingkat validitas, reliabilitas, obyektivitas, dan otentisitas yang tinggi. Angka mengulang kelas dan angka putus sekolah relatif kecil. Selain itu, sekolah melakukan studi penelusuran alumni secara berkala untuk mengetahui status mereka, baik kesempatan melanjutkan pendidikan, kesempatan kerja, dan pengembangan diri alumni. Hasil studi penelusuran digunakan untuk memperbaiki program-program sekolah dan didokumentasikan secara rapi agar mudah diakses oleh siapapun yang membutuhkan.
8. Peranserta Masyarakat
Idealnya, pendidikan mengajarkan siswa tentang kecakapan yang diperlukan untuk menjalani hidup dan kehidupan di masyarakat tingkat lokal, nasional, internasional. Oleh karena itu, apa yang dididikkan di sekolah idealnya harus relevan dengan tuntutan-tuntutan nilai luhur dan harapan-harapan masyarakat. Lebih dari itu, pendidikan juga harus mampu mengubah masyarakat di sekitarnya. Jadi, hubungan simbiosis antara sekolah-masyarakat merupakan keniscayaan.
Disamping itu, sekolah akan tumbuh subur jika mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitarnya. Dukungan-dukungan dari masyarakat, baik berupa finansial, moral, informasi, jasa (pemikiran, ide-ide, idealisme, keterampilan), maupun berupa barang, sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah.
Selanjutnya, konsekwensi logis dari otonomi pendidikan sangat jelas, yaitu pendidikan tidak lagi semata-mata merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah, tetapi masyarakat juga harus berperanserta secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan tidak lagi semata-mata dimonopoli dan berbasis pemerintah (swadaya pemerintah), akan tetapi juga berbasis masyarakat. Bahkan ada kecenderungan bahwa pendidikan masa depan adalah pendidikan berbasis masyarakat. Pada dasarnya, pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang diarahkan, dimiliki, dan didukung oleh masyarakat sekitar yang dilayani oleh institusi pendidikan (sekolah). Jadi, masyarakat memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan, baik sebagai mitra sekolah, sebagai penasehat, sebagai pendukung, dan sebagai pengontrol pendidikan di sekolah. Jika demikian, maka sekolah akan dipandang sebagai sekolah masyarakat dan bukannya sebagai sekolah pemerintah yang berada di masyarakat. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki identitas dan kepentingan berbeda-beda, misalnya kelompok-kelompok: orangtua siswa, organisasi profesi, organisasi buruh, organisai pengusaha, akademisi, praktisi, tokoh masyarakat, dokter, petani, yayasan, dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan sekolah-masyarakat bukan lagi sekadar penting, tetapi sudah merupakan keharusan.
Dalam kerangka itulah, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Esensi kelembagaan ini adalah bahwa masyarakat memiliki peran sebagai pemberi pertimbangan (advisor), pendukung (supporter), penghubung (mediator), dan pengontrol (controller). Oleh karena itu, lembaga ini harus diberdayakan.
Standar: Peranserta masyarakat meliputi partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Hubungan antara sekolah-masyarakat, baik menyangkut substansi maupun strategi pelaksanaanya, ditulis dan dipublikasikan secara eksplisit dan jelas. Sekolah melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam pendidikan di sekolah melalui strategi-strategi sebagai berikut: (1) memberdayakan melalui berbagai media komunikasi (media tertulis, pertemuan, kontak langsung secara individual, dsb.); (2) menciptakan dan melaksanakan visi, misi, tujuan, kebijakan, rencana, program, dan pengambilan keputusan bersama; (3) mengupayakan jaminan komitmen sekolah masyarakat melalui kontrak sosial; dan (3) mengembangkan model-model partisipasi masyarakat sesuai tingkat kemajuan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar