Penggunaan Teknologi dalam Pengukuran Proses dan Hasil Belajar
Beberapa sekolah unggul di Indonesia membuktikan bahwa dengan meningkatnya mutu pelaksanaan penilaian telah mendongkrak komitmen siswa belajar dan kesungguhan pendidik dalam mewujudkan tujuan mengajar. Strategi yang sekolah lakukan meliputi kegiatan ; (1) meningkatkan relevansi instrumen evaluasi dengan tujuan pembelajaran, (2) memperketat pengawasan terhadap penyusunan instrumen agar benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur,(3) memantau pemenuhan standar operasional prosedur pengukuran, dan (4) mengolah hasil tes oleh tim penjamin mutu untuk menjaga objektivitas data hasil belajar.
Sejalan dengan meningkatnya penggunaan teknologi pendukung peningkatan standar pembelajaran dalam kelas, model pengukuran dan pengolahan hasil tes terus berkembang dan semakin bervariasi. Pada beberapa sekolah unggul di Indonesia, hal ini ditandai dengan meningkatnya penggunaan scanner yang diintegrasikan dengan program excel, bahkan terdapat sekolah yang telah meningkatkan usahanya melalui pengembangan soft ware pengolahan hasil evaluasi.
Usaha tersebut merupakan bagian dari usaha yang lebih besar dalam pendayagunaan teknologi sebagai perangkat pembelajaran melalui pengintegrasian proses belajar berbasis masalah, melakukan penelitian kepustakaan berbasis internet, melakukan komunikasi dan kolaborasi berbasis komputer, dialog secara online dalam menerapkan kurikulum, mengintegrasikan pembelajaran pada pengembangan multi media dalam semua disiplin ilmu.
Penggunaan teknologi scanner yang diintergrasikan pada sistem software pengelolaan nilai terbukti telah membantu sekolah mempercepat pemeriksaan hasil tes. Teknologi ini efektif menghitung jawaban siswa yang benar dalam tes pilihan ganda serta memadukan lebih lanjut dengan nilai yang diperoleh dari hasil tes uraian. Program aplikasi teknologi telah mempercepat perhitungan nilai di sekolah-sekolah yang populasi siswanya banyak. Lebih dari itu, teknologi telah membantu sekolah menganalisis soal sehingga dengan cepat pula para pendidik menentukan tingkat kesulitan soal serta memilah soal yang valid dan yang perlu direvisi.
Di SMA Sutomo 1 Medan dan SMAN 3 Malang, contohnya, seluruh proses pengolahan nilai siswa menggunakan sistem omputer. Sesaat setelah lembar jawab siswa pengawas himpun. Lembar jawab langsung diserahkan kepada tim tim pengolah yang dibentuk khusus untuk menanganinya.
Data hasil olahan berguna sebagai (1) learning tools, siswa mengukur kemajuan belajarnya (2) teaching tools, guru mengukur hasil mengajarnya (3) management tools, sekolah mengukur efektivitas manajemennya memfasilitasi siswa belajar. Pada fungsi yang ketiga sekolah menggunakan hasil penilaian sebagai alat mengontrol kinerja pendidik dalam memfasilitasi mengembangkan potensi dirinya. Dengan sistem pengolahan seperti itu, maka sekolah memperlakukan hasil ulangan siswa sebagai penentu utama nilai prestasi pendidik dalam melaksanakan tugasnya.
Secara tradisional seluruh tugas itu berada di bawah tata kelola guru. Tiap guru mengolah hasil tes siswa yang diajarnya. Bahkan di beberapa sekolah, guru diberi wewenang untuk mempertimbangkan nilai yang diperoleh siswa pada tiap akhir semester. Perubahan pada era penggunaan teknologi saat ini, guru tidak lagi memiliki kewenangan memeriksa, mengolah, dan menentukan nilai hasil evaluasi. Pengelolaan ada di bawah kewenangan kepala sekolah yang dibantu oleh tim. Nilai pada tiap kali ulangan langsung diumumkan kepada orang tua dan siswa.
Konsekuensi dari itu, jika dalam satu kali ulangan terdapat siswa yang tidak memenuhi standar kompetensi minimal (SKM) yang telah ditetapkan, maka serta merta guru mendapat tugas untuk melakukan remedial. Begitu pula siswa yang telah memenuhi target, mereka mendapat pengayaan agar dapat meningkatkan prestasinya sehingga dapat mengangkat citra sekolah dalam peta kompetisi mutu dengan sekolah lain.
Sistem pengelolaan mutu seperti itu dapat dinyatakan sebagai model peningkatan kinerja dan kompetensi lulusan berbasis evaluasi atau penilaian.
Apa yang seharusnya diukur?
Penggunaan teknologi dalam pembelajaran dan penilaian sangat membantu sekolah mengukur kinerja mengajar dan mengukur kinerja belajar siswa sebagai dasar penentuan peta kinerja manajemen sekolah dalam memenuhi standar.
Jika menggunakan pendekatan sistem, maka pengukuran mutu menyangkut kinerja belajar siswa kinerja mengajar guru dan kinerja manajemen sekolah. Yang menjadi ukuran adalah tingkat ketercapai mutu proses dan produk prestasi siswa dalam konteksnya. Hal itu berarti bahwa standar dapat diklasifikasi dalam prosedur, deklarasi dan konteks. Seperti yang diungkap Lorraine Sherry and Daniel Jesse (2000), mereka daapt mengukur fungsi siswa dalam proses pembelajaran, kualitas produk belajar secara umum, dan mengukur berbasis konteks dengan fokus pada deklarasi prosedur penguasaan ilmu pengetahuan.
Pemikiran itu menegaskan pentingnya mengukur (1) proses belajar (2) penguasaan teori (3) penerapan teori dalam bentuk menilai keterampilan terbaik yang melekat dalam produk belajar yang siswa hasilkan dan mengukur (4) kesesuaian hasil belajar dengan konteks.
Proses pengukuran yang tertinggi bukan pada keterampilan berpikir dan penguasaan teori melainkan pada tindakan atau keterampilan. Hal ini sejalan dengan filosofi persaingan masa kini. Penguasaan ilmu pengetahuan, penemuan baru, bukan puncak dari daya saing. Persaingan sesungguhnya adalah dalam keterampilan menghasilkan produk baru seperti, mobil baru, hand phone baru, program baru yang mendapat apresiasi public dunia.
Contoh objek pengukuran yang lebih penting daripada penguasaan teori bagaimana produk belajar itu diintegrasikan pada teknologi seperti pada contoh di bawah ini;
* Menterjemahkan situasi baru dalam merumuskan tujuan.
* Mencari informasi baru sebagai dasar penetapan kebijakan.
* Menggunakan kata, gambar, grafik, angka, dan teknologi untuk mengkomunikasikan ide baru.
* Mengembangkan produk belajar dalam bentuk bentuk teks atau artikel , oral atau rekaman, visual seperti dalam bentuk video, dan karya belajar lain yang akan menjadi modal persaingan siswa di masa depan.
* Menggunakan computer sebagai alat untuk menyebarluaskan informasi.
Model kompetensi seperti di atas pada banyak sekolah belum dapat dikembangkan karena pada sekolah di Indonesia masih didominasi dengan pemikiran yang sempit bahwa belajar adalah dapat menyelesaikan soal agar bisa lulus UN. Menanggapi pernyataan ini, mungkin banyak guru menyatakan justru sikap ini yang paling realistik sebab ujung dari keberhasilan siswa itu ditentukan UN. Namun demikian kita perlu mengembangkan keyakinan bahwa mengubah strategi pembelajaran dengan menggeser ujung sasaran belajar dari learning to know ke learning to do secara empirik terbukti lebih baik. Buktinya, dalam hal produk teknologi saat ini Indonesia pantas menjadi pasar produk bangsa lain yang sangat baik, karena pendidikan kita memang tidak diarahkan untuk menghasilkan produk dari keterampilan melainkan menjadi tukang berpikir memecahkan masalah dan mengerjakan soal. (Dr. Rahmat)
Referensi:
* Lorraine Sherry and Daniel Jesse, October 2000, The Impact of Technology on Student Achievement, RMC Research Corporation, Denver, http://carbon.cudenver.edu/ ~lsherry/pubs/tassp_00.htm
* http://www.nsba.org/sbot/toolkit/tiol.html
* http://4teachers.org/keynotes/roberts/
Sejalan dengan meningkatnya penggunaan teknologi pendukung peningkatan standar pembelajaran dalam kelas, model pengukuran dan pengolahan hasil tes terus berkembang dan semakin bervariasi. Pada beberapa sekolah unggul di Indonesia, hal ini ditandai dengan meningkatnya penggunaan scanner yang diintegrasikan dengan program excel, bahkan terdapat sekolah yang telah meningkatkan usahanya melalui pengembangan soft ware pengolahan hasil evaluasi.
Usaha tersebut merupakan bagian dari usaha yang lebih besar dalam pendayagunaan teknologi sebagai perangkat pembelajaran melalui pengintegrasian proses belajar berbasis masalah, melakukan penelitian kepustakaan berbasis internet, melakukan komunikasi dan kolaborasi berbasis komputer, dialog secara online dalam menerapkan kurikulum, mengintegrasikan pembelajaran pada pengembangan multi media dalam semua disiplin ilmu.
Penggunaan teknologi scanner yang diintergrasikan pada sistem software pengelolaan nilai terbukti telah membantu sekolah mempercepat pemeriksaan hasil tes. Teknologi ini efektif menghitung jawaban siswa yang benar dalam tes pilihan ganda serta memadukan lebih lanjut dengan nilai yang diperoleh dari hasil tes uraian. Program aplikasi teknologi telah mempercepat perhitungan nilai di sekolah-sekolah yang populasi siswanya banyak. Lebih dari itu, teknologi telah membantu sekolah menganalisis soal sehingga dengan cepat pula para pendidik menentukan tingkat kesulitan soal serta memilah soal yang valid dan yang perlu direvisi.
Di SMA Sutomo 1 Medan dan SMAN 3 Malang, contohnya, seluruh proses pengolahan nilai siswa menggunakan sistem omputer. Sesaat setelah lembar jawab siswa pengawas himpun. Lembar jawab langsung diserahkan kepada tim tim pengolah yang dibentuk khusus untuk menanganinya.
Data hasil olahan berguna sebagai (1) learning tools, siswa mengukur kemajuan belajarnya (2) teaching tools, guru mengukur hasil mengajarnya (3) management tools, sekolah mengukur efektivitas manajemennya memfasilitasi siswa belajar. Pada fungsi yang ketiga sekolah menggunakan hasil penilaian sebagai alat mengontrol kinerja pendidik dalam memfasilitasi mengembangkan potensi dirinya. Dengan sistem pengolahan seperti itu, maka sekolah memperlakukan hasil ulangan siswa sebagai penentu utama nilai prestasi pendidik dalam melaksanakan tugasnya.
Secara tradisional seluruh tugas itu berada di bawah tata kelola guru. Tiap guru mengolah hasil tes siswa yang diajarnya. Bahkan di beberapa sekolah, guru diberi wewenang untuk mempertimbangkan nilai yang diperoleh siswa pada tiap akhir semester. Perubahan pada era penggunaan teknologi saat ini, guru tidak lagi memiliki kewenangan memeriksa, mengolah, dan menentukan nilai hasil evaluasi. Pengelolaan ada di bawah kewenangan kepala sekolah yang dibantu oleh tim. Nilai pada tiap kali ulangan langsung diumumkan kepada orang tua dan siswa.
Konsekuensi dari itu, jika dalam satu kali ulangan terdapat siswa yang tidak memenuhi standar kompetensi minimal (SKM) yang telah ditetapkan, maka serta merta guru mendapat tugas untuk melakukan remedial. Begitu pula siswa yang telah memenuhi target, mereka mendapat pengayaan agar dapat meningkatkan prestasinya sehingga dapat mengangkat citra sekolah dalam peta kompetisi mutu dengan sekolah lain.
Sistem pengelolaan mutu seperti itu dapat dinyatakan sebagai model peningkatan kinerja dan kompetensi lulusan berbasis evaluasi atau penilaian.
Apa yang seharusnya diukur?
Penggunaan teknologi dalam pembelajaran dan penilaian sangat membantu sekolah mengukur kinerja mengajar dan mengukur kinerja belajar siswa sebagai dasar penentuan peta kinerja manajemen sekolah dalam memenuhi standar.
Jika menggunakan pendekatan sistem, maka pengukuran mutu menyangkut kinerja belajar siswa kinerja mengajar guru dan kinerja manajemen sekolah. Yang menjadi ukuran adalah tingkat ketercapai mutu proses dan produk prestasi siswa dalam konteksnya. Hal itu berarti bahwa standar dapat diklasifikasi dalam prosedur, deklarasi dan konteks. Seperti yang diungkap Lorraine Sherry and Daniel Jesse (2000), mereka daapt mengukur fungsi siswa dalam proses pembelajaran, kualitas produk belajar secara umum, dan mengukur berbasis konteks dengan fokus pada deklarasi prosedur penguasaan ilmu pengetahuan.
Pemikiran itu menegaskan pentingnya mengukur (1) proses belajar (2) penguasaan teori (3) penerapan teori dalam bentuk menilai keterampilan terbaik yang melekat dalam produk belajar yang siswa hasilkan dan mengukur (4) kesesuaian hasil belajar dengan konteks.
Proses pengukuran yang tertinggi bukan pada keterampilan berpikir dan penguasaan teori melainkan pada tindakan atau keterampilan. Hal ini sejalan dengan filosofi persaingan masa kini. Penguasaan ilmu pengetahuan, penemuan baru, bukan puncak dari daya saing. Persaingan sesungguhnya adalah dalam keterampilan menghasilkan produk baru seperti, mobil baru, hand phone baru, program baru yang mendapat apresiasi public dunia.
Contoh objek pengukuran yang lebih penting daripada penguasaan teori bagaimana produk belajar itu diintegrasikan pada teknologi seperti pada contoh di bawah ini;
* Menterjemahkan situasi baru dalam merumuskan tujuan.
* Mencari informasi baru sebagai dasar penetapan kebijakan.
* Menggunakan kata, gambar, grafik, angka, dan teknologi untuk mengkomunikasikan ide baru.
* Mengembangkan produk belajar dalam bentuk bentuk teks atau artikel , oral atau rekaman, visual seperti dalam bentuk video, dan karya belajar lain yang akan menjadi modal persaingan siswa di masa depan.
* Menggunakan computer sebagai alat untuk menyebarluaskan informasi.
Model kompetensi seperti di atas pada banyak sekolah belum dapat dikembangkan karena pada sekolah di Indonesia masih didominasi dengan pemikiran yang sempit bahwa belajar adalah dapat menyelesaikan soal agar bisa lulus UN. Menanggapi pernyataan ini, mungkin banyak guru menyatakan justru sikap ini yang paling realistik sebab ujung dari keberhasilan siswa itu ditentukan UN. Namun demikian kita perlu mengembangkan keyakinan bahwa mengubah strategi pembelajaran dengan menggeser ujung sasaran belajar dari learning to know ke learning to do secara empirik terbukti lebih baik. Buktinya, dalam hal produk teknologi saat ini Indonesia pantas menjadi pasar produk bangsa lain yang sangat baik, karena pendidikan kita memang tidak diarahkan untuk menghasilkan produk dari keterampilan melainkan menjadi tukang berpikir memecahkan masalah dan mengerjakan soal. (Dr. Rahmat)
Referensi:
* Lorraine Sherry and Daniel Jesse, October 2000, The Impact of Technology on Student Achievement, RMC Research Corporation, Denver, http://carbon.cudenver.edu/ ~lsherry/pubs/tassp_00.htm
* http://www.nsba.org/sbot/toolkit/tiol.html
* http://4teachers.org/keynotes/roberts/
0 komentar:
Posting Komentar