Top Ads

CARA PANDANG TERHADAP SEORANG ANAK

Oleh  MUDZAKKIR HAFIDH
Hee….hee….hee….selamat dan sukses ya.., anda telah   bergabung dalam blog pendidikan, semoga blog ini sedikit membawa pencerahan bagi kita semua, terutama dalam memandang permasalahan pendidikan di Indonesia. Kali ini saya ingin membahas tentang cara pandang masyarakat tentang difinisi anak atau siswa yang pandai. Beberapa guru ketika berbincang di kantor selepas mengajar membicarakan siswa tertentu, misalnya Andi itu anak pandai karena setiap ulangan nilainya hampir sempurna, rata-rata nilainya 95, lain lagi dengan Nia dan Mita, Nia anak yang pandai karena nilai matematika dan bahasa inggrisnya dalam setiap ulangan pasti  sempurna yaitu 100, diapun selalu rengking I di kelasnya, Sedang Mita juga tergolong anak pandai karena ia sering menjadi juara dalam lomba-lomba mata pelajaran.
Para orang tua juga begitu, mereka memuji anak sendiri atau anak orang lain karena anak tersebut nilainya senantiasa bagus dan sering mendapat penghargaan atau hadiah karena prestasinya tersebut. Bahkan banyak orang tua menyalahkan dan memarahi anaknya gara-gara ia mendapat nilai jelek. Singkat kata, para guru, orang tua serta masyarakat  sering mengukur kepandaian seorang anak dari hasil belajar yang berupa nilai-nilai atau angka-angka dari setiap pelajaran yang dipelajari. Pertanyaannya, apa itu salah?
Perbaikan Cara Memandang
Pembaca yang budiman, cara pandang seperti kasus di atas memang tidak salah, tapi kurang sempurna, yaitu kurang utuh dalam memandang seluruh potensi kecerdasan seorang anak, anak hanya dipandang dari satu sisi yaitu sisi intelektual atau sisi kognitifnya saja, tanpa melihat sisi kemampuan sikapnya (afektif) dan kemampuan  keterampilannya (psikomotor).
Karena cara pandang seperti itu, banyak guru dan orang tua lebih memperhatikan kemampuan pemahaman siswa (kognitif) dari kemampuan-kemampuan yang lain. Segala daya upaya guru dan orang tua hanya bermuara pada pencapaian nilai atau angka tinggi dalam setiap ulangan, mereka kurang memperhatikan bagaimana sikap anak tersebut, sopan santun, perilaku, ucapan dan tindak-tanduk pada orang tua,  guru, sesama temannya, dan pada orang lain. Begitu juga keterampilan siswa juga kurang diperhatikan, yang meliputi keterampilan beribadah (Spritual Skill), keterampilan berbicara dan berkomunikasi (Communication Skill), keterampilan mengadakan penelitian ( Mini Research Skill), keterampilan bersosialisasi dan bermasyarakat (Social Skill), keterampilan  memecahkan masalah (Solve and Problem Skill) serta keterampilan menggunakan peralatan teknologi tertentu, misalnya penguasaan internet, keterampilan menggunakan computer dan lainnya.
Yang lebih parah lagi, pemerintah juga mendukung cara pandang yang salah tersebut, buktinya, dalam ujian nasional tidak ada materi uji sikap dan uji keterampilan. Pemerintah berdalih,  hal itu sudah menjadi kewajiban sekolah, karena yang menentukan kelulusan seorang siswa seyogyanya menurut standar evaluasi pendidikan nasional adalah sekolah, bukan pemerintah, pemerintah hanya membuatkan standar kelulusan siswa saja. yang didalamnya ada penilaian sikap dan keterampilan. Meskipun pemerintah berdalih seperti itu, tapi kenyataannya, siswa dikatakan lulus atau tidak ya tergantung pada hasil unasnya saja. bagaimana ini ya?
Bukti yang kedua, pada setiap tes penerimaan pegawai negeri di departemen manapun termasuk di Departemen Pendidikan dan di Departemen Agama, materi yang diujikan ya seputar tes kognitif, misalnya tes potensi akademik, tes bakat dan minat, tes materi substansial dan lainnya. Tidak ada tes uji sikap atau uji keterampilan, maka tidak heran ketika di terima, beberapa dari mereka melakukan tindakan yang kurang sopan, ibadahnya juga kurang, bahkan yang lebih parah, mereka ada yang tidak bisa mengetik di computer, internet apalagi. Wah…wah… bagaimana penyelenggaraan negara bisa bagus, kalau SDM yang terpilih seperti itu.
Oleh karena itu mari kita rubah cara pandang kita terhadap seorang anak atau siswa, anak dikatakan pinter, cerdas, pandai  bukan hanya dari segi kognitif saja yang bagus, namun dari segi afektif (sikap) dan keterampilan ( skill) juga harus bagus. Bahkan dalam komunitas perusahaan besar di dunia sekarang berubah dalam memandang kapasitas dan kepandaian seseorang, menurut mereka, justru orang yang pandai dan mendapat kesempatan untuk memimpin perusahaan peringkat pertama adalah orang yang mempunyai kemampuan mengendalikan emosi dan mempunyai integritas sikap yang baik,  misalnya kejujuran, tanggung jawab, kepemimpinan dan lainnya, baru peringkat selanjutnya adalah karena keilmuwan mereka dan kemampuan skill mereka. Bagaimana pendapatmu?

0 komentar:

Posting Komentar