Top Ads

Mengais Rejeki dari Dunia Penulisan

Berbagai ulasan, diskusi dan uraian ini disalin dari situs www.penulislepas.com
Oleh: jonru
"Bisakah mengandalkan hidup dari menulis?" Pertanyaan seperti ini kerapkali diajukan kepada orang-orang yang berprofesi sebagai penulis. Umumnya, si penanya adalah orang yang ingin terjun ke dunia penulisan, tapi masih ragu dengan potensi materi yang akan ia peroleh. Dan, menjawab pertanyaan seperti ini ternyata tidak mudah. Sebab faktanya, banyak orang yang kaya dari menulis, namun banyak pula yang sebaliknya.Maria Adelia (17 tahun) adalah contoh sosok penulis yang sukses dari segi materi. Siapa sangka, novel "Aku VS Sepatu Hak Tinggi" yang dikirimnya secara iseng-iseng ke Penerbit Gramedia, menjadi laku keras di pasaran. "Enggak nyangka, cetakan pertamanya laku hingga 10 ribu kopi," ujarnya, sebagaimana dikutip harian Kompas, 16 Juli 2005.
Kini, novelnya ini sudah diangkat ke layar kaca, bahkan dijadikan sinetron berseri. Tentu, royalti pun membanjiri dompet Maria Adelia. Dalam sebulan, ia mendapat penghasilan kotor sekitar Rp 5 juta!
Kisah sukses lainnya dialami oleh Yanti Puspitasari (34 tahun). Dengan menjadi penulis skenario sejumlah sinetron (antara lain Kehormatan, Bidadari, dan Perkawinan Sedarah), ia dan suaminya dapat menikmati kehidupan yang layak. Namun karena mereka bekerja di rumah, banyak tetangga yang mengira mereka pengangguran dan dituduh memelihara tuyul. Pasalnya, mereka jarang ke luar rumah, tetapi punya mobil dan materi lain yang secara kasatmata bisa dilihat sebagai kekayaan, termasuk dua rumah di Nirwana Estat, Cibinong, Bogor (Kompas, 27 November 2005).
* * *
Dari kedua cerita di atas, apakah dapat dipastikan bahwa menjadi penulis merupakan pilihan yang amat menjanjikan dari segi materi? Ternyata tidak juga. Sebagai bahan perbandingan, coba simak penuturan Fira Basuki lewat blog pribadinya. Pengarang novel laris "Jendela Jendela" ini mengeluhkan, betapa sulitnya mengandalkan penghasilan dari menulis, khususnya di Indonesia. Di Amerika, menurutnya, profesi penulis mendapat penghargaan yang sama - dari segi finansial - seperti para aktor film. Penulis skenario pun dibayar amat mahal. Selain itu, dunia penulisan pun sudah menjadi industri. Ini ditandai dengan adanya agen penulis, maraknya ghost writer(*), dan sebagainya.Berdasarkan info dari sejumlah pengamat, memang dunia penulisan di Indonesia tidak terlalu menjanjikan dari segi materi. "Kalau di Singapura, penulis bisa jadi jutawan," ujar sastrawan Yanusa Nugroho dalam sebuah kesempatan, tahun 2005 lalu.Sebagai gambaran, berikut disajikan contoh kasus tentang seorang penulis yang menerbitkan dua buku yang penjualannya biasa-biasa saja.
1. Buku AHarga jual: Rp 35.000Royalti: 10 % dari total penjualanMasa pembayaran royalti: 6 bulan sekali, yakni Januari dan Juli.Selama periode Januari - Juni 2005, jumlah eksemplar buku A yang terjual adalah 600 kopi. Maka, royalti yang diterima si penulis adalah:[ ( Rp 35.000 X 600 kopi ) x royalti 10% ] - pajak 15 persen= Rp 1.785.0002. Buku BHarga jual: Rp 45.000Royalti: 10 % dari total penjualanMasa pembayaran royalti: 6 bulan sekali, yakni Januari dan Juli.Selama periode Januari - Juni 2005, jumlah eksemplar buku A yang terjual adalah 1.000 kopi. Maka, royalti yang diterima si penulis adalah:[ ( Rp 45.000 X 1.000 kopi ) x royalti 10% ] - pajak 15 persen= Rp 3.825.000Jadi, penghasilan si penulis selama 6 bulan dari kedua bukunya adalah Rp 5.610.000.Dengan kata lain, penghasilan rata-ratanya perbulan adalah Rp 935.000.Jika si penulis tinggal di Jakarta, sudah menikah dan punya dua anak, cukupkah penghasilan sebesar itu untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya?Perlu dicatat pula, contoh di atas kebetulan menggunakan angka-angka yang cukup tinggi. Coba Anda hitung sendiri, jika buku si penulis hanya terjual 300 kopi selama 6 bulan, dan harga jualnya Rp 20.000 atau Rp 18.000 per eksemplar.
* * *
Dari gambaran di atas, kita kini memiliki gambaran, bahwa profesi penulis - secara umum - sebenarnya belum terlalu prospektif dari segi finansial. Ini adalah kondisi di Indonesia, bukan di negara-negara lain.Memang, ada sebagian penulis yang bisa hidup berkecukupan dari menulis. Namun biasanya, orang yang bernasib seperti ini adalah:1. Penulis yang buku-bukunya laris manis di pasaran, mungkin terjual hingga ribuan bahkan jutaan eksemplar. Bahkan pula, buku-bukunya diangkat menjadi film atau sinetron (ini sudah dialami oleh Hilman Hariwijaya).2. Penulis skenario sinetron yang laris, karya-karyanya sering dipakai sebagai bahan cerita. Tapi sekadar info, menjadi penulis skenario sinetron kejar tayang bisa menimbulkan rasa stress tersendiri. Bagaimana tidak! Si penulis terus diburu deadline, sehingga harus sering lembur dan nyaris tak ada waktu untuk istirahat.3. Penulis yang berwirausaha dari hobi mereka. Biasanya, potensi materi dari bidang ini cukup menjanjikan. Ada begitu banyak jenis pekerjaan yang bisa digarap; Mulai dari menjadi editor dan penerjemah freelance, mengerjakan company profile, hingga menggarap media internal bagi perusahaan besar.4. Penulis yang telah menerbitkan puluhan buku. Mungkin hasil penjualan buku-bukunya biasa-biasa saja, sehingga royalti per buku hanya sedikit. Tapi karena ia telah menerbitkan banyak buku, total royalti yang ia peroleh per bulan bisa sangat besar.Jika anda adalah penulis yang tidak memenuhi keempat kriteria di atas, jangan berkecil hati dulu. Tapi sebaiknya, jadikanlah menulis sebagai pekerjaan sampingan saja. Tentunya, Anda harus punya pekerjaan yang bisa diandalkan dari segi materi, misalnya menjadi karyawan pada perusahaan tertentu, atau membuka usaha di bidang lain.Lagipula, materi atau finansial seharusnya bukanlah tujuan utama bagi seorang penulis. Ada tujuan-tujuan lain yang jauh lebih mulia. Misalnya, si penulis dapat menularkan ide, gagasan, dan prinsip hidup yang dianutnya kepada para pembaca. Jika yang "ditularkan" adalah nilai-nilai kebaikan, tentu si penulis merupakan manusia yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.Tentunya, setiap penulis akan senang jika ide-ide yang ia tuangkan lewat goresan penanya, diikuti dan diterapkan oleh para pembaca. Jika ini terjadi, kepuasan yang didapatkan tentu tak ternilai harganya.Sebagai penutup, coba simak penuturan Yanusa Nugroho. Sastrawan yang satu ini punya prinsip hidup yang unik. "Saya punya dua tangan, yang kanan dan yang kiri. Tangan kanan saya gunakan untuk menulis karya sastra. Di sini, saya bebas berekspresi, tidak bisa diintervensi oleh siapa dan apapun. Dan saya tidak berorientasi uang. Sedangkan tangan kiri saya gunakan untuk mencari uang dari bidang penulisan."Yanusa pun menambahkan, ia pernah menjadi ghost writer untuk naskah pidato mantan Presiden BJ Habibie dan menulis naskah iklan produk-produk Netsle. Hasilnya sangat lebih dari lumayan.(Jonru/berbagai sumber)Keterangan:(*) Ghost writer adalah orang yang menulis naskah atas nama orang lain, misalnya seorang pejabat atau public figur. Si pejabat (dan sebagainya) biasanya tidak sempat menulis. Karena itu, ia menyewa orang lain (biasanya adalah orang yang sudah ia kenal dekat dan tahu persis karakter tulisan dan pola pikirnya) untuk menulis atas nama dia.10 Respon mengenai Artikel "Mengais Rejeki dari Dunia Penulisan"1. Sudarmaji Hg Ed :Kaya Sebagai Penulis Buku?Tidak bisa dipungkiri pertanyaan itu memancing debat berkepanjangan.Semua orang memiliki pengalaman, argumentasi dan sisi kebenarannya sendiri-sendiri.Alih-alih memperpanjang debat yang selalu mendaratkan kita ke pantai pluralitas, akan lebih baik bila kita melihat sisi yang lebih mendasar bagaimana mempersiapkan diri menjadi seorang penulis sebagai karir. Bukan menulis buku karena sedang ada mood, atau pelepas kesibukan rutin. Saya yakin kita bisa kaya dari menulis buku, asal tahu rahasianya. Saya berharap gagasan sharing berikut ini bisa menambah kekayaan nuansa kita dalam tema yang amat mulia ini. Tampaknya tulisan ini akan lebih pas bagi mereka yang akan menapaki karir sebagai penulis buku. Masa depan akan lebih cerah bila sejak dini kita sudah memiliki strategi bagaimana memaksimalkan diri sebagai penulis buku (yang kaya).So, bagaimana bisa hidup layak (baca: kaya) sebagai seorang penulis?Saya melihat setidak-tidak ada lima poin yang bisa kita renungkan. Here we go…1. Menemukan kekuatan/usp:Setiap (calon) penulis pasti memiliki kekuatannya sendiri. Pendidikan, pengalaman, latihan, karir menjadi batu loncatan untuk menemukan kekuatan pribadi sebagai seorang penulis. Dari poin pertama, muncullah tuntutan mengembangkan usp.Keberanian dan keberhasilan menampilkan genre dan tema buku yang tidak akan bisa dimasuki oleh penulis lain jelas merupakan keunggulan kompetitif tersendiri. Masalahnya bagaimana kita menemukan usp ini?2. Mencari link optimal3. Pandai memilih pasar yang lapar4. Menciptakan metode penulisan instan5. Memosisikan diri sebagai penulis generalisSebagai calon penulis, saya menyarankan untuk merambah dunia kepenulisan dengan memfokuskan diri sebagai penulis generalis, tidak tergesa-gesa menerjunkan diri sebagai penulis spesialis. Tahap ini bisa berfungsi untuk menajamkan indera kepenulisan, merengkuh pengalaman dan pengetahuan sebanyak-banyaknya, mendeteksi kelemahan, menghimpun preferensi dan mengembangkan kebebasan memilih ladang berkreasi.Jika pertanyaan apakah penulis bisa kaya muncul, saya yakin, dengan menerapkan kelima poin di atas, kekayaan (kalau memang ini tujuan kita) tidak akan sulit diraih. Selamat menemukan usp Anda dan saya tunggu buku Anda;-)Menulis atau habis/publish or perish…SudarmajiMalang2. shofyankhasani :Dunia penulisan mungkin juga sama dengan dunia yang lain, apabila ditekuni tentu akan memberikan hasil yang pasti akan memuaskan . sehebat apapun kita ,dengan bidang yang kita hadapi ,apabila tidak ditekuni tentu hanya akan menjadikan sebuah profesi yang menjemukan . jadi setuju sekali dengan mas jonru . Bukankah Allah akan mengabulkan do’a hanya bagi orang-orang yang tekun..??3. Irenia Vitrya Alyssa (http://ezha-echa.tk ) :Sebenarnya menulis itu adalah hobby dari seseorang.. menulis itu bisa menggambarkan suasana hati seseorang, menulis cerita juga bisa menghasilkan sesuatu. akan tetapi lebih baik jangan terlalu berharap dari hasi menulis. lebih baik dijadikan sekedar hobby saja.4. Katrin suni :Ide yang terus berputar di kepala,sayang sekali bila tidak dituangkandiatas kertas. Bentuk ekspresi diri yang jujur,idealisme,talenta,sekedar hobi atau apapun yang menghasilkan sebuah karya tulis berhak mendapatkan apresiasi. Seorang script writer ataupun penulis skenario drama akan merasa puas dan bangga bila karyanya dipentaskan. Seorang penulis artikel akan senang apabila tulisannya menjadi acuan bagi orang lain. Alhamdulillah, Sekarang ini ada bentuk lain apresiasi untuk para penulis,yaitu honorarium..Mungkin kita merasa untuk para pemula atau untuk penulis tertentu nilainya tidak sebesar negara lain,terlalu sedikit untuk mengapresiasi sebuah karya.Mengapa tidak kita ciptakan sendiri? Lewat situs ini,atau melalui mas Jonru,kalau tidak kita awali,siapa lagi ?5. Yulyanto ( http://www.yulyanto.multiply.com ) :Menulis adalah sebuah pekerjaan profesional, artinya jika ditekuni secara "total", pasti bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Sudah banyak contoh Penulis yang berhasil, seperti Pramoedya Ananta Toer. Dia hidup dan bahkan bisa kaya hanya dari tulisannya saja dan tidak ada mata pencaharian lainnya. Nama Andrea Hirata dan Habiburahman dan juga Pak Saderi adalah motivasi bagi para penulis yang ingin menyandarkan pendapatannya dari buku, pendapatan penulis-penulis tersebut berkisar antara satu sampai tiga milyard rupiah. Luar biasa besarnya kan?Selain itu ada Fira Basuki (pengarang brownies yang sudah di angkat dalam layar lebar) yang setiap bukunya sangat laris karena selalu "best-seller" ataukah itu Jenar Mahesa Ayu ataukah Dee - Dee Lestari yang bukunya pernah sekali cetak sampai 50.000 - 90.000 eksemplar.Nama-nama besar para penulis tersebut bisa dijadikan patokan bagi para penulis pemula yang ingin terjun dalam dunia tulis-menulis. Pekerjaan apapun bentuknya, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh (jangan lupa ber-doa dan ber-ikhtiar), Insya Allah akan membawa berkah bagi pekerjanya……..6. Ketut :Dulu saya juga sempat bertanya seperti itu, apakah bisa mengandalkan finansial dari menulis ? Ketika pertama kali saya menekuni dunia jurnalis, saya masih tetap mengajar di sebuah PT sasta di Denpasar. Tapi karena banyak kesempatan yang saya dapatkan dari dunia kewartawanan, saya tidak bisa membagi waktu lagi mengambil dua kerjaan. Hasilnya, saya memutuskan untuk mengundurkan diri di kampus. Saya sempat berpikir dan ragu, apakah dari penghasilan sebagai wartawan cukup untuk hidup. Tapi karena saya menyukai dunia tulis menulis, saya pastikan tidak menyesal. Memang honor yang saya terima tidak seberapa, tapi saya merasa menjadi lebih bergairah dan mendapat wawasan luas setelah menjadi wartawan. Jadi saya tidak menyesal menekuni dunia jurnalis.7. Angdaga :Saya sangat setuju dengan pendapat saudara Shofyankhasani yang mengatakan bahwasanya suatu bidang pekerjaan, apabila ditekuni akan menghasilkan suatu keuntungan berupa materi, walaupun awalnya kita melakukannya bukan untuk itu. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya, orang yang mendedikasikan dirinya pada suatu bidang tertentu, hidupnya berkecukupan. Selain contoh-contoh penulis sukses yang rekan-rekan sebutkan, ada banyak contoh lain dalam bidang yang berbeda, yang bisa kita jadikan sebagai panutan. Misalnya pengalaman teman saya yang berprofesi sebagai tukang jahit pakaian.Secara singkat saya akan menceritakan kesuksesan teman saya ini.Awalnya temansaya mendirikan usahanya dengan ala kadarnya, namun kini dirinya mampumempekerjakan empat orang karyawan untuk membantunya. Selain itu dia sudah mampu membeli mobil dan menyewa tempat tinggal yang layak untuk dirinya sekaligusuntuk menjalankan usahanya. Ketika saya menanyakan apa rahasia kesuksesannya,dia menjawab bahwa dirinya selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi pelanggannya. Walupun memberikan yang terbaik itu harus mengorbankan keuntungannya. Contohnya pernah ia mendapati pelanggannya kecewa karena hasil jahitannya tidak sesuai dengan keinginan si pelanggan (teman saya pada saat itu tidak mengikuti trend atau mode pakaian pada saat itu), padahal si pelanggan telah membayar ongkos jahitannya. Karena merasa bersalah, teman saya akhirnya bersedia mengganti hasil jahitannya tanpa si pelanggan harus membayar ongkos penggantinya termasuk kain yang dipesan pelanggannya.Pengalaman inilah yang mengajarkan teman saya ini bahwa dirinya harus selalu mengikuti trend pakaian saat ini, agar hasil jahitannya tidak monoton. Bahkan teman saya pernah membuat pakaian dengan mode hasil kreatifitasnya sendiri, dan ternyata disukai oleh pelanggannya.Ketekunannya untuk selalu kreatif dalam menjalankan usahanya inilah yang akhirnyamembuat teman saya hidup berkecukupan.Begitu juga halnya dengan pekerjaan menulis, saya yakin apabila kita menekuninyadengan sungguh-sungguh dan disertai dengan kreatifitas, maka akan mendatangkankeuntungan berupa materi.Sebagai masukan, saya pernah membaca sebuah buku mengenai tips dan trik menjadi penulis yang sukses (maaf, saya lupa nama penulisnya, penulisnya berasal dari negara Amerika serikat), penulis menemukan fakta bahwasanya manusia sangat menyukai hal-hal yang praktis (instan atau cepat) dan tidak menyukai sesuatu yang bertele-tele. Oleh sebab itu diciptakanlah teknologi-teknologi untuk mempermudah pekerjaan manusia.Sama halnya dengan membaca buku. Hasil surveynya mengatakan bahwasanya pembaca cenderung lebih menyukai buku yang tipis walupun bersambung daripada membaca buku yang tebal tapi langsung tamat. Itu sebabnya kita sering menemukan buku berjudul sama tapi edisi-nya berbeda (ada edisi ke satu dan ada edisi ke dua, atau ada edisi pemula dan ada edisi lanjutan).Demikianlah pendapat saya ini, apabila ada kata-kata saya yang salah saya mohon maaf dan kepada Allh SWT saya mohon ampun.8. Qahar ( http://qah4r.blogspot.com ) : Sebelum kaya, bisa menulis buku kemudian diterbitkan saja sudah senang rasanya. Mungkin, untuk seorang mahasiswa seperti saya, menulis menjadi suatu impian yang idealis. Membagi ide dan pengetahuan dengan pembaca. Membuka dan terbuka untuk menerima kritikan tentang ide-ide kita sendiri.Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwasanya reward berupa uang-pun sering diharapkan. Biasanya saya semakin rajin nulis, untuk di kirim ke koran meskipun jarang dimuat, kalo dah hampir akhir bulan. Saat-saat keuangan mulai menipis.Menjadi penulis memang suatu tantangan, terlebih memberikan tulisan yang dibutuhkan oleh kondisi saat ini. Tidak hanya tantangan dalam ide tapi juga dalam diri sendiri yang kadang2 ga bisa fokus. Sementara, cukup banyak penulis yang serius namun tidak cukup mendapatkan ruang hingga dapat dibaca oleh masyarakat. Akan tetapi menurut saya, penulis tetaplah penulis. Ia kaya karena tiap susunan kata yang dituliskannya, karena sejarah akan mengenang namanya. Karena dimasa depan, sadar ataupun tidak, zaman dibentuk diatas pilar-pilar ide-nya.9. Delzacca ( http://delryo.blogspot.com ) :Sekarang dunia menulis bagi saya masih sebatas media menumpahkan ide-ide yang terus bermunculan manakala ada kejadian, berita atau apapun yang ‘mengganggu’ pikiran saya. Karena itu, ada orang yang sudi membaca dan mengomentarinya saja suatu kebahagiaan bagi saya. Yang berarti tulisan saya dihargai.Tapi jika tulisan saya suatu hari nanti ada yang ‘menghargai’ dalam arti materi, tentunya saya akan lebih serius menjalaninya tidak hanya sebatas menumpahkan ide. Karena saya yakin sesuatu yang dilakukan dengan serius pasti akan mendapatkan penghargaan yang lebih.10. bsetiawan55 ( http://360.yahoo.com/bsetiawan55 ):Menurut saya jalan keluar dari persoalan ini adalah meningkatkan jumlah copy yang terjual. Dalam perhitungan di atas, diasumsikan hanya 500 dan 1000 copy saja.Kalau sumber persoalannya di dalam diri kita, artinya kita harus meningkatkan kualitas tulisan kita. Atau, kita harus lebih mendekati apa yang diinginkan oleh pembaca. Dengan demikian bisa diharapkan lebih banyak lagi orang yang membeli buku tulisan kita.Bisa juga persoalannya ada di luar kendali kita. Misalnya, sudah cukup menyebarkah toko buku kita? Mal dan plaza memang dibangun di mana-mana. Tapi apakah selalu ada toko buku disana? Belum tentu. Jadi bagaimana masyarakat mau beli buku, kalau tidak ada toko buku dalam jangkauan mereka.Saya pernah berkunjung ke kota Pekalongan yang katanya banyak menghasilkan orang pinter. Tapi saya punya kesan disana tidak banyak tersedia toko buku yang serius. Seorang penjaga satu toko buku menjelaskan bahwa ada toko buku lain di jalan Anu. Lalu saya bilang bahwa saya perlu peta kota Pekalongan supaya saya bisa mencapai toko buku lain itu. Dan ternyata peta kota pun tidak ada.Itu mengenai pasar di dalam negeri. Sebenarnya kita juga bisa menggarap pasar luar negeri. Sebagaimana diketahui di negara Malaysia, Brunei dan Singapura terdapat populasi penduduk Melayu berpenghasilan besar, dalam jumlah yang cukup banyak. Tetapi tentu bahasa yang dipakai untuk menulis harus lebih cenderung ke bahasa daerah di Sumatera, bukan cenderung ke bahasa daerah di P. Jawa. Bahasa daerah di P. Sumatera lebih mirip dengan bahasa Melayu yang dipakai di ketiga negara tetangga itu.
***

0 komentar:

Posting Komentar